(Oleh: Yunice Karina Tumewang, Staff Divisi PSDI IESC FE UII)
Bismillahirrahmanirrahim
“Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya ...”(TQS. Al-Hadid [57]:7)
Sungguh, harta yang ‘dimiliki’ manusia
hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak karunia Al Ghaniyyu yang tercecer di bumiNya. Sehingga sangatlah wajar,
jika kita sebagai penjemput
rizkiNya harus tunduk-patuh atas aturan-aturan Sang Pemilik. Dalam hal
kepemilikan, Islam memiliki pandangan yang khas, yang berbeda dengan ekonomi
kapitalisme maupun sosialisme. Islam menolak adanya pembatasan absolute
(sosialisme) maupun pembebasan absolute (kapitalisme). Islam memberikan
kebebasan kepada individu untuk memiliki, namun tetap dengan batasan-batasan
tertentu.
Kepemilikan terbagi atas tiga macam:
a.
Kepemilikan Individu (Al-Milkiyah Fardiyah)
An-Nabhani
(1990) menyatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan individu (asbabu at-tammaluk) terbatas pada lima hal berikut ini:
1.
Bekerja (Al-Amal)
Kewajiban bekerja dapat kita jumpai tuntunanya dalam banyak dalil al-qur’an maupun as-sunnah. Bukan besar kecilnya upah atau
tinggi rendahnya jabatan yang menjadi ukuran baik buruknya mata pencaharian,
melainkan halal haramnya lah yang menjadi patokan. Suatu hari Rasulullah
ditanya oleh seorang sahabat: “Mata pencaharian apakah yang paling baik?”
Beliau menjawab: “Bekerja dengan tangan sendiri dan jual-beli yang bersih” (HR.
Al-Bazzar)
2.
Warisan (Al-Irts)
Hukum pembagian warisan telah secara jelas diterangkan Allah melalui
firman Nya:
“Allah mensyari’atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anakmu ...” (Q.S.
An-Nisa [4]:11-12)
3.
Kebutuhan harta untuk
mempertahankan hidup
Dalam Islam, setiap individu harus terpenuhi kebutuhan pokoknya (hajat
al-udhawiyah) dalam rangka mempertahankan keberlangsungan hidupnya,
dan hal ini menjadi kewajiban atas waliul
amri (pemerintah) untuk memfasilitasinya melalui mekanisme bertahap.
Rasulullah SAW meneladankannya ketika memberikan dua dirham kepada seseorang,
kemudian beliau berkata kepadanya: “makanlah dengan satu dirham, sisanya
belikanlah kapak, lalu gunakanlah untuk bekerja.”
4.
Pemberian negara (I’thau Al-Daulah)
Hal ini dapat berupa tanah pertanian, modal, ataupun barang yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5.
Harta yang diperoleh
individu tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun
Hal ini dapat berupa hibah, wasiat, hadiah, diyat, mahar, barang temuan,
ataupun santunan.
Kepemilikan Umum (Al-Milkiyah Amah)
Islam
tidak menghendaki kepincangan antara hak individu pemilik dengan hak masyarakat
lain. Sehingga, benda-benda yang termasuk dalam kategori ini tidak boleh
hanya dikuasai oleh segelintir orang, melainkan haruslah dikelola dan dimanfaatkan
oleh pemerintah demi kepentingan masyarakat umum. Public property ini haram hukumnya untuk diprivatisasi sehingga
pemerintah tidak boleh menjualnya kepada siapapun, termasuk kepada para pemilik
modal. Kepemilikan umum ini terbagi menjadi tiga macam:
1.
Fasilitas Umum
Rasulullah SAW bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang,
yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah)
Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan
menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan
harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
2.
Barang-barang yang tabiat
(sifat) kepemilikan & pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh
individu, seperti sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid, dsb.
3.
Barang tambang dalam jumlah
besar
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia
telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola tambang
garamnya. Lalu Rasulullah saw membolehkannnya. Setelah ia pergi, ada seorang
laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya?
Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.”
Rasulullah saw kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya” (HR.
At-Tirmidzi)
c.
Kepemilikan Negara (Al-Milkiyah Daulah)
Dalam
hal ini, negara berhak memanfaatkan atau memberikannya kepada masyarakat sesuai
dengan kebijakan negara dalam rangka menunaikan kewajiban-kewajiban negara
seperti menggaji pelayan kesehatan, menggaji pendidik, menggaji pegawai negara,
keperluan jihad, dan sebagainya. Sumber dari state property ini dapat berupa ghanimah,
fai, khumus, kharaj, jiziah seperlima harta rikaz, usyur, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki
waris, dan tanah tak bertuan.
Aturan-aturan
Islam tentang kepemilikan harta ini semakin menunjukkan bahwa Islam adalah
agama yang sempurna dan menyempurnakan. Islam mengakomodir fitrah manusia atas
keinginannya untuk memiliki sesuatu. Islam tidak mengharamkannya, melainkan
membebaskannya dengan batasan-batasan tertentu. Hal ini dikarenakan, Islam selalu mementingkan kepentingan
umum diatas kepentingan individu, karena kepentingan umum merupakan kepentingan
yang menyangkut kehidupan orang banyak. Dan tentunya, konsep harmonisasi ajaran dari langit ini lebih baik dibandingankan
konsep kapitalisme maupun
sosialisme.
Wallahua’lam bish-shawab
Bibliography
Veithzal Rivai,
A. N. (2012). Islamic Economics and Finance. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
An-Nabhani, Taqiy al-Din. 1990. An-Nizham al-Iqtishadi fi
al-Islam. Beirut: Dar al-Ummah
0 komentar:
Posting Komentar