Oleh : Eko Purnomo (Koordinator Divisi Humas IESC FE UII)
Mungkin kerap kali
diri ini merasa lebih baik, lebih pandai, lebih bisa daripada orang lain.
Padahal, kenyataannya tak selalu demikian. Egosentrisme yang terlalu
membumbungkan diri ini merasa lebih baik dari orang lain pada hakikatnya adalah
bersumber dari nafsu ammaroh kita. Imbasnya apabila kita merasa lebih
baik dari orang lain adalah cenderung pada arah kesombongan dan selalu ingin menang
sendiri, ingin dianggap bahwa diri ini yang paling benar dan paling baik.
Padahal Seperti yang termaktub dalam
al-qur’an Allah melarang hamban-hamba-Nya untuk tidak berlaku takabur diatas
muka bumi ini, dan pada hadits rasul diterangkan bahwa tidak akan masuk surga
seseorang yang di dalamnya ada rasa sombong walaupun sebesar biji dzarroh-pun.
Yang perlu kita garis bawahi adalah walaupun kesombongan itu hanya ada
sangat sedikit, maka tidak akan dapat masuk surga. Na’uudzubillaahi
mindzaalik. Karena sifat sombongan itu hakikatnya hanya milik Allah SWT. saja.
Mungkin sering
kita tak sadar bahwa diri ini ingin selalu terlihat oleh manusia sebagai insan
yang baik, tapi internal kita begitu buruk di pandangan Allah, dengan seperti
inilah kita akan senantiasa menikmati kedok kita. Dan akibatnya, imbas dari
diri ini ingin selalu merasa lebih baik dari orang lain yang berbuntut pada
kesombongan dan berpengaruh juga pada diri ini ingin selalu dipandang baik dan
gemar mengekspos kebaik-kebaikan diri ini (baca: riya’), namun sangat tidak
suka apabila ada orang yang memandang diri ini dari kacamata yang buruk.
Padahal, diri ini –khususnya diri
penulis-- lebih banyak keburukannya dibandingkan yang baiknya. Bukankah orang
yang dipandang baik oleh masyarakat lantaran oleh Allah tidak dibukakan
aib-aibnya, bukan karena prestasi-prestasi yang ada dalam dirinya semata (Jika
diri ini gemar bermawas diri, bermuhasabah, mau dan tidak malu untuk mengakui
kekurangan.)
Apabila diri merasa paling baik,
maka tatkala menerima lontaran kritikan atau saran pastilah akan berontak dan
tidak terima, padahal bisa jadi kritikan atau saran tersebut amat berguna dan
begitu konstruktif.
Namun sebaliknya, jika diri ini
mengakui kekurangannya, maka apabila menerima tajamnya kritikan pastilah akan
disambutnya dengan senyum syukur; lantaran bisa menjadi bahan instrospeksi.
Seperti halnya pada suatu kisah amirul mukminin sayyidina ‘Umar
bin Khottob R.A., yang menyambut kritikan dari salah seorang rakyatnya dengan
senyum sejuk, dan beliau berterima kasih padanya. Karena beliau merasa jika
tidak ada yang mengkritiknya khawatir apabila ia melakukan kesalahan, maka
tidak ada yang menegur dan menasihatinya.
Kita ambil contoh,
pada sebagian besar orang menilai bahwa seorang wanita tuna susila itu ialah
insan yang amat hina dan dicap sebagai sampah masyarakat. Akan tetapi, adakah
orang yang tahu kapan, dimana dan bagaimana akhir hayat dari labirin
kehidupannya?. Apakah kita tahu bahwa akhir hidupnya itu suul khotimah dan
akhir hidup kita ini husnul khotimah?. Apakah kita bisa menjamin hal
demikian?. Pastinya kita tidak tahu. Lantas, apa motivasi diri ini untuk
selalu menganggap bahwa diri ini lebih baik dari orang lain?. Tentunya, hanya
Dzat Yang Maha Mebolak-balikkan hatilah Yang Maha Tahu dan Yang Maha Berkuasa
untuk menentukan ajal makhluk-makhluk-Nya.
Janganlah kita
malu dan enggan untuk mau mengakui kekurangan diri, jangan biarkan hati ini
gelisah dan menjerit dibalik busuknya topeng. Karena diri yang baik ialah yang
selalu memperbaiki diri dan dapat memetik hikmah dari setiap bait-bait hayatnya
serta yang ikhlas karena Allah.
Mari belajar ikhlas untuk mau
mengakui kekurangan diri. Dan semoga yang merangakai kata-kata diatas dapat diejawantahkan
dengan baik dan menjadi pengingat oleh sang perangkainya. Pada dasarnya, diri
dan hati yang fakir ini ingin senantiasa belajar melangkah menuju kawah yang
lebih baik dan lebih baik lagi. Semoga Allah senantiasa menempatkan kita semua
sebagai hamba-hamba-Nya yang berada dalam atmosfer sejuknya syukur dan
nikmatnya beristiqomah pada-Nya. InsyaaAllah.
Aamiin yaa robbal’aalamiin.
Wallaahu’alam bishshowaab.
0 komentar:
Posting Komentar