Senin, 04 Februari 2013

Salah Kaprahnya Gadai Emas Syariah


(Oleh I. S. Siregar, Divisi PPWI)


     Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menafsirkan kata “gadai” sebagai “meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman”.
     Menurut Syafi’i Antonio dalam karyanya Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik Pengertian gadai (rahn) mengutip pandangan Sayyid Sabiq, ialah penyimpanan sementara hak milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh si piutang, berarti brang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu. Al Baqarah ayat 283 menyebutkan “jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memeperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..” secara eksiplit disebutkan barang tanggungan dipegang oleh yang berpiutang. Dalam dunia ekonomi, barang tanggungan dikenal dengan jaminan (kolateral) atau objek gadai.[1]
     Konteks dari dua pengertian di atas ialah penggadaian umum (bukan emas), bagaimana dengan penggadaian emas?
    Gadai emas syariah saat ini sedang digandrungi banyak orang baik yang berorientasi baik (maqashid syariah) maupun yang beorientasi melenceng, ada yang bertujuan investasi, hedging nilai aset, hingga terjun untuk berspekulasi. Bagian yang melenceng inilah menjadi pekerjaan rumah para pemerhati umat.
    Gadai emas syariah ialah produk Unit Usaha Syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan/lantakan) dalam sebuah akad gadai (rahn). Dari kesepakatan ini Unit Usaha Syariah (bank syariah) mengambil upah (ujrah) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukan atas emas tersebut berdasarkan akad jasa (ijarah). (Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas).
   Pada hakikatnya prinsip yang mendasari gadai ialah keterdesakan, bila dalam keadaan terdesak dan membutuhkan sejumlah dana maka salah satu solusinya berkunjung ke penggadaian. Namun, masih ada beberapa oknum mencoba menyamarkan prinsip gadai dengan menawarkan produk investasi  yang jelas-jelas tidak ada unsur keterdesakan.
    Seperti hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari A’isyah r.a., ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”.
   Hadits di atas menggambarkan bahwa dalam  kebutuhan mendasar dan keadaan terdesaklah Nabi menggadaikan baju perangnya, karena yang dibeli Nabi dengan menggadaikan baju perangnya ialah makanan. Makanan termasuk dalam kebutuhan dasar dan sangat dibutuhkan. Menurut amat penulis penggadaian sebaiknya diorientasikan pada kebutuhan dasar bukan pada kebutuhan investasi (investment oriented) mau pun mencari modal (capital oriented).
   Unit Usaha Syariah PT Bank CIMB Niaga Syariah sedang asyik mengembangkan sayap usahanya di bidang gadai emas, per desember 2012 pembiayaan gadai emas CIMB Syariah mencapai Rp. 126,29 miliar, berkembang 89% dari tahun sebelumnya, Desember 2011. Head of Syariah Banking CIMB Niaga Syariah, Saefudin Noer mengatakan emas masih menjadi pilihan utama masyarakat. “Hal ini berdampak positif terhadap bisnis jual-beli emas, termasuk bisnis gadai emas”, ungkap Saefudin. (Kompas, edisi 21 Januari 2013).
   Mengapa gadai emas lebih dipilih dalam berinvestasi emas? Karena gadai emas memiliki risiko yang rendah dengan hitung-hitungan yang mudah dipahami nasabah dan apresiasi terhadap emas dari waktu ke waktu terus meningkat sehingga nilai emas pun ikut terdongkrak. Nasabah pun tergiur dan akhirnya terjun berinvestasi di penggadaian emas.
Ada 4 (empat) point yang tercantum dalam fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002, 2 (dua) diantaranya:
  1. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
  2. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat sebelum, besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan
    Dalam praktiknya ongkos (fee) penyimpanan emas atau safe deposit box yang dilaksanakan oleh beberapa bank tidak sesuai dengan point nomor 2. Contohnya tarif safe deposit box (SDB) yang ditawarkan BNI; ukuran kecil (3x5x24 inch) seharga Rp.100.000 per tahun, ukuran sedang (5x10x24 inch) seharga Rp.250.000 per tahun dan ukuran besar (15x10x24 inch) seharga Rp.700.000 per tahunnya. Jika nasabah ingin menyimpan emas seberat 2 gram (kurang lebih sebesar koin Rp. 500) maka safe deposit inbox (SDB) yang dibutuhkan ialah ukuran yang paling kecil. Anehnya di salah satu bank syariah, dalam brosurnya menetapkan tarif untuk emas 2 gram sebesar 11.800/15 hari[2]. Bisa diabanyagkan penetapan harga sebesar ini apakah perlu hanya untuk menyimpan emas seberat 2 gram (kira-kira seukuran koin Rp.500)? tentu tidak seusai dengan point kedua dari fatwa MUI di atas.
EPILOG
   Nasabah dituntut untuk cerdas dalam memfaatkan fasilitas-fasilitas keuangan publik syariah. Para bankir keuangan publik syariah pun dibebankan atas konsep fundamenatal yang benar seusai dengan ketentuan hukum dan syara yang ditetapkan. Karena pada dasarnya transaksi dalam Islam harus memenuhi ketentuan hukum syara. Mari memanfaatkan gadai emas syariah sebaik mungkin agar manfaatnya dirasakan semua golongan, tidak hanya berputar pada segilintir orang saja. Demi terwujudnya kesejahteraan bersama, kemalahatan umat yang terjamin. Nasabah dan bankir dituntut untuk memahami konsep lembaga-lembaga keuangan syariah secara mendalam, terkhusus lembaga gadai emas syariah agar gadai emas syariah dalam praktiknya tidak salah kaprah.

[1] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm 314
[2] Lihat www.konsultasisyariah.com, diakses pada tanggal 23 Januari 2013
Categories: , ,

0 komentar:

Posting Komentar