BULETIN IESC - EDISI III – 14 Juni 2015
Halaman 1
APA ITU HEDGING SYARI’AH?
Heti Nur Isnaini
(Kementerian Penelitian dan Pengembangan
Wawasan Intelektual 2014/2015)
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) mengesahkan fatwa mengenai lindung nilai atau dikenal
dengan hedging syari’ah. Hedging sendiri berfungsi melindungi nilai tukar mata
uang rupiah terhadap valuta asing. Dari sudut pandang conventional accounting hedging dapat dilakukan, namun dalam sudut
pandang syari’ah, hedging masih dipertanyakan bahkan tidak boleh karena
mengandung unsur estimasi atau dikenal dengan nama gharar (ketidakpastian). Karena pada dasarnya estimasi merujuk pada
ketidakpastian.
Sebenarnya apa perbedaan Hedging
biasanya dengan Hedging Syari’ah?
Hedging dilakukan apabila sudah melakukan
perjanjian antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli barang tertentu pada waktu tertentu
dengan harga tertentu (sudah disepakati) yang transaksi tersebut dilakukan pada
masa mendatang. Dalam konteks transaksi antar negara dengan mempertimbangkan
faktor fluktuasi nilai tukar currencies.
Di Indonesia, hedging jarang dilakukan di sektor riil, tetapi berlaku di pasar modal. Berbeda dengan luar negeri
yang melakukan hedging di sektor riil,
misal USA.
Hedging syariah diperbolehkan apabila,
diantaranya adalah transaksi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan; hak
pelaksanaan atau wakaf dalam mekanisme lindung nilai tidak boleh
diperjualbelikan; objek tersebut mengandung risiko signifikan terhadap
fluktuasi nilai tukar; risiko tersebut sudah diukur sebelumnya; objek tersebut
berupa simpanan dalam mata uang asing, kewajiban dalam mata uang asing untuk
biaya perjalanan haji, perjalanan ke luar negeri dalam konteks syariah,
kebutuhan pembiayaan pendidikan di luar negeri sesuai dengan prinsip syariah.
Biasanya, yang melayani hedging syariah adalah lembaga keuangan syariah.
Apakah
hedging syari’ah ada untuk utang? Lalu bagaimana cara kerjanya?
Hedging pada
intinya suatu cara transaksi yang bertujuan melindungi nilai. Utang atau
transaksi sama aja, intinya sudah memiliki ketetapan harga yang sesuai. Misal
hutang 10 juta dalam nilai dollar ketika menginjak pada kurs Rp 13.000,
ditetapkan harga tertentu yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak pada
jatuh tempo yang telah ditentukan. Sebenarnya permasalahan utama pada
distribusi yang lambat, apalagi biasanya pembeli baru membayar ketika barang
sudah sampai.
Apakah
Hedging dapat disamakan dengan sistem ijon? Karena dari asal hukum, sebenarnya
hedging bisa disamakan sistem ijon à gharar à haram
Sebenarnya hedging
lebih memberikan kepastian kepada orang karena intinya pada risk averse. Kalau ijon, tidak ada
kepastian. Hedging disamakan dengan ijon merupakan hal yang berbeda jauh. Pada
hedging ada kalkulasi perhitungan sebelumnya. Spot dan forward dari
data yang ada pergerakannya tidak terlalu jauh. Hedging ini dilakukan kontrak
dengan bank yang kita percaya atas barang yang kita beli. Biasanya sebelum
melakukan hedging, kita dengan bank melakukan perhitungan yang menguntungkan
kedua belah pihak. Untuk masalah siapa yang untung atau rugi, itu masalah
pihak-pihak yang melakukan kesepakatan.
Bagaimana transaksi
hedging syari’ah terjadi?
Perbankan syariah
baru melakukan transaksi hedging apabila telah ditetapkan DSN MUI. Karena ada
desakan transaksi dollar, maka muncullah fatwa hedging. Karena fatwa tersebut
dikeluarkan MUI, maka diberi label syariah. Hedging bukan produk, tetapi sebuah
cara, menggabungkan beberapa produk. Realita yang ada bahwasanya permasalahan
menyangkut haji, dulu ada pemindahan dana haji ke bank syariah, maka harus ada
perlindungan atas dana tersebut, lalu kemudian muncul hedging syariah. Pola
pikir masyarakat 100% harus syariah susah. Hal menuju syari’ah harus melalui
proses dari yang tidak sesuai syariah ke yang sesuai syariah agar lebih mudah
untuk mengajak berbagai kalangan menuju ekonomi syariah.-*
*) dalam Silaturrahim Berdiskusi IESC FE UII dengan
SEF FEB UGM mengenai “Hedging Syari’ah” pada 26 April 2015 di ruang T101 FEB
UGM
Halaman 2
“Akan datang suatu
zaman dimana manusia tidak lagi peduli darimana mendapatkan harta,
apakah dari usaha yang halal atau haram” (HR. Bukhari)
Diranah
ekonomi yang semakin kompleks ini, manusia semakin sulit membedakan mana harta
yang halal dan mana harta yang haram. Pandangan halal dan haram termasuk hal
sepele, namun penting dalam menyangkut hidup dalam keberkahan dunia dan
akhirat. “Ingatlah bahwa
di
dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh
jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad...” (HR. Bukhari no. 52
dan Muslim no. 1599). Perlu diketahui pula harta yang kita konsumsi mempengaruhi
pada segumpal daging tersebut apabila harta yang didapatkannya itu haram
kemudian dikonsumsinya, maka dapat dipastikan bahwa daging tersebut ada unsur kerusakan
(karena haram) dan mempengaruhi seluruh tubuh. Apakah Riba termasuk harta
haram? Baca secara seksama ulasan mengenai riba itu sendiri.
Gambaran umum riba
Riba
merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam. Riba dapat berarti juga pertukaran sesama barang ribawi dengan
kadar yang berbeda. Perbedaan itulah yang disebut riba.Misalnya Andi memberi pinjaman kepada Riki dengan
syarat Riki harus mengembalikan uang pokok pinjaman berserta tambahan. Dengan
demikian, terjadinya transaksi utang-piutang dikarenakan adanya syarat
tambahan, bila Riki tidak bisa memenuhi syarat tersebut maka transaksi tidak
jadi. Tambahan pengembalian hutang dari pokok pinjaman itulah yang disebut
riba. Memberikan hutang dengan syarat adanya tambahan seperti diatas pada
hakekatnya merupakan praktek eksploitasi si kaya kepada si miskin. Ini berarti
pihak si miskin bukannya ditolong tetapi justru diperas. Itulah salah satu
sebab mengapa Islam mengharamkanya.
Etimologi dan Terminologi Riba
Secara
etimologi riba merupakan tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau
tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu
dirham dengan dua dirham. Istilah ini juga digunakan untuk segala bentuk jual
beli yang diharamkan (Syarh An Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Fathul Baari). Adapun
secara terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang yang khusus
dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba
nasi’ah (Ar Ribaa Adraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah). “Maksud
tambahan secara khusus, ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at islam,
baik diperoleh dengan cara penjualan atau penukaran atau pinjaman yang
berkenaan dengan benda riba” (Majalah As Sunnah edisi 3 tahun VII)
Landasan yang melarang riba
Riba
itu haram berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Tidak hanya agama
islam saja yang menharamkannya, Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun
mengharamkannya. Pendapat para filsuf terdahulu pun melarang adanya riba,
karena riba termasuk dalam kegiatan mendapatkan harta secara bathil.
Disebutkan
dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah
seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan
janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu” (Safarul Khuruj pasal 22
ayat 25; Fiqhus Sunnah). Masih dalam kitab yang sama disebutkan, “Apabila
saudara kalian sedang kesulitan, maka bantulah ia. Janganlah dirimu mengambil
keuntungan dan manfaat darinya” (Safarul Khuruj pasal 25 ayat 35; Fiqhus
Sunnah).
Dalam
Perjanjian Baru disebutkan, “jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang
kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian
peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya
imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar” (Injil Lukas pasal 6 ayat
34-35; Fiqhus Sunnah). Bahkan para ahli agama mereka telah sepakat akan
keharaman riba. Pastur Buni mengatakan “Sesungguhnya oran-orang yang melakukan
transaksi ribawi tidak memiliki kehormatan di dunia dan mereka tidak layak
dikafani ketika mereka meninggal” (Fiqus Sunnah).
Islam melarang Riba seperti dalam surat
Al-Baqarah ayat 278-279 yang intinya pada “Hai orang-orang beriman,
bertawaqalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba...”. dalam Kristen Council
of Vienne (tahun 1311) juga menyatakan bahwa yang menganggap riba (bunga) telah
murtad seperti dalam kutipan berikut “Barangsiapa menganggap bunga itu adalah
sesuatu yang tidak berdosa, ia telah murtad”. Masih pada aliran yang sama yaitu
Reformis Kristen (tahun 1836) menyatakan “....tidak menjadikan pemungut bunga sebagai profesi”. Selain itu
Yahudi dalam Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 tertulis “Janganlah
engkau mengambil bunga uang atau riba daripadanya, melainkan engkau harus takut
kepada Allahmu....”
Pandangan
riba dari para filsuf diantaranya :
·
Aristoteles:
Riba mengganggu fungsi uang. Uang bukan untuk menghasilkan uang, melainkan
sebagai alat tukar dan pengukur nilai.
·
Plato:
Riba menimbulkan perpecahan dan digunakan untuk menghisap orang miskin.
·
Cato:
Pencuri didenda dua kali lipat, sedangkan pemakan riba didenda empat kali
lipat.
·
Cicero:
Dua pekerjaan yang harus dihindari adalah pemungut cukai dan pemberi pinjaman
dengan bunga.
(dalam Kitab Sakti Syekh Angga)
Tahapan pelarangan riba
Larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak
diturunkan sekaligus melainkan secara bertahap:
1. Tahap pertama,
menolak anggapan bahwa pinjaman riba
pada zahirnya menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati
atau taqarrub kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:“Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah.Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”(QS. Ar Rum : 39).
2. Tahap kedua,riba digambarkan
sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba.Firman Allah SWT:“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang
Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir diantara mereka itu siksa yang pedih” (QS. An-Nisa:
160-161).
3. Tahap ketiga, riba itu diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Allah SWTberfirman:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran:130).
4. Tahap akhir, yaitu ayat riba diturunkan oleh Allah SWT yang dengan jelas sekali mengharamkan sebarang jenis
tambahan yang diambil daripada pinjaman. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang
yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” .(QS. Al Baqarah:
278-279)
Hadist yang berkaitan dengan riba
Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi SAW bersabda, “Riba
itu ada 73 tingkatan. Yang paling ringan daripadanya adalah seumpama seseorang
menzinai ibunya sendiri.” (H.R. Al-Hakim)
“Satu Dirham dari riba yang diambil
seseorang, lebih besar dosanya di sisi Allah dari 33 kali berzina dalam agama
Islam”. (H.R.Thabrany)
Halaman 3
Dari Jabir :Rasulullah
SAW melaknat yang menerima riba dan
membayarnya, orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya. Kemudian beliau
bersabda, “Mereka itu semuanya sama”. (H.R.Muslim No 2995, Kitab
Al-Musaqat)
Sabda Nabi SAW, “Empat golongan yang tidak
dimasukkan Allah ke dalam syurga : 1. Peminum Khamar 2. Pemakan
Riba, 3. Pemakan harta anak Yatim, 4.Orang yang durhaka pada ibu-bapak”.
(Hadits Al-Hakim)
Sabda
Nabi SAW, “Jauhilah kamu tujuh dosa besar yang membinasakan yaitu:
1.
Syirik kepada Allah
2. Sihir
3. Membunuh orang yang diharamkan Allah
4. Makan riba
5. Makan harta anak yatim
6. Lari dari medan perang
7. Menuduh orang beriman yang telah kawin melakukan zina” (Muttafaq ‘Alaih)
2. Sihir
3. Membunuh orang yang diharamkan Allah
4. Makan riba
5. Makan harta anak yatim
6. Lari dari medan perang
7. Menuduh orang beriman yang telah kawin melakukan zina” (Muttafaq ‘Alaih)
Sabda
Nabi Muhammad SAW “Pasti akan datang
suatu zaman, di mana tak seorang pun yang terbebas dari riba, siapa yang
tidak mau memakannya, pasti ia terkena debunya juga.” (H.R.Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dampak buruk adanya riba
Diantara dampak buruk
riba adalah sebagai berikut :
-
Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, yang
dalam firman-Nya “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir
di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS. An-Nisaa’:161)
-
Pelaku riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak
dalam keadaan seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman “Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berpendapat Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharapkan
riba...” (QS. Al-Baqarah: 275)
-
Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba
berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan
Rosu-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan Rosul-Nya. Allah ta’ala
berfirman “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka joika kamunorang-orang tidak
mengerjakan (meninggalkan siksa riba (dari pengambilan riba), maka ketahuilah
bahwa Allah dan rousl-Nya akan memerangimu. Dan jika kamubertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
pula dianiaya (Q Al-Baqarah 278-279)
Dosa
yang akan didapat dari perbuatan riba
1.
Pelaku Riba/Bunga kekal di Neraka (QS.2:275)
2.
Mudah dipengaruhi Syetan (QS. 7:96)
3.
Riba diperangi Allah dan Rasulnya (QS. 2:279)
4.
Sistem Riba Sumber Petaka (QS.2:275)
5.
Rezekinya tidak berkah (QS.2:276)
6.
Doanya tidak Maqbul (QS.2:186)
7.
Dosanya lebih berat dari
menzinai ibu kandungnya sendiri (Hadits Riwayat Hakim dari Ibnu Mas’ud)
8.
Dilaknat Rasulullah SAW(H.R.Ahmad
& At-Tarmizi)
9.
Termasuk 7 dosa besar yang
dimurkai Allah (H.R.Muttafaq
Alaih)
10.
Tidak akan masuk syurga (Pemakan
riba, peminum khamar, pemakan harta anak yatim, durhaka kpd ibu-Bapa, Hadits
Riwayat Al-Hakim)
Dari pembahasan mengenai riba secara panjang lebar yang dapat diambil
bahwa tak seorang pun yang terbebas dari riba, dan sebenarnya uang termasuk
barang riba namun dizaman ini sulit untuk melepaskan riba sehingga benar-benar
bersih. Yang dapat dilakukan sekarang ini setidaknya menjauhi riba dengan meminimalisir aktivitas kegiatan yang
berhubungan riba. Seperti memberikan pinjaman tanpa harus meminta tambahan
lebih dari pinjaman semula.
Perbedaan
Bunga dan Bagi Hasil
Bunga
|
Bagi Hasil
|
Penentuan tingkat suku bunga
dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung
|
Penentuan besarnya rasio bagi
hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
|
Besarnya persentase
berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
|
Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|
Pembayaran bunga tetap
seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh
pihak nasabah untung atau rugi.
|
Bagi hasil tergantung pada keuntungan
proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak mendapatkan keuntungan maka
kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
|
Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
|
Jumlah pembagian laba
meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
|
|
Tidak ada yang meragukan
keuntungan bagi hasil.
|
Referensi
: Hand Book IESC FE UII 2014/2015; Buletin At-Tauhid edisi 18 tahun 11; kuliah
Operasional Pebnakan Syari’ah, Kitab Sakti Syekh Angga
TAHUKAH ANTUM?
Teori
akuntansi konvensional yang saat ini beredar disebut-sebut berasal dari Luca
Picioli. Ia disebut sebagai bapak Akuntansi. Bukunya diterbitkan tahun 1494,
buku ini bukan tentang akuntansi tetapi aritmatika. Terdiri dari 5 bab. Salah
satu bab nya tentang double entry system. Benarkah Luca yang menemukan teori
akuntansi ini?
Luca
bukanlah orang pertama penemu teori double
entry pada akuntansi. Puluhan tahun sebelumnya, seorang Muslim bernama
Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al-Mazindarani, ulama muslim telah menuliskan
karya dibidang akuntansi dengan judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat”
ditulis pada 765 H/1363 M
Halaman4
“FENOMENA HEDGING SYARIAH”
Oleh Syaiful Rahman
(Sekertaris II IESC FE UII 2014/2015)
Salah satu bahasan diskusi ekonomi islam yang
sedang hangat dibicarakan dikalangan ekonom muslim adalah hedging syariah. Pada
kesempatan diskusi ini Islamic Economics Study Club Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Indonesia (IESC FE UII) mengundang Bapak Asmuni, Mth., M.A
beliau salah satu dosen Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII sebagai pembicara.
Bapak Asmuni menekuni bidang dalam legal
exim dan metodologi islam. Pembahasan oleh bapak Asmuni lebih mengarah pada
kacamata fiqh nya.
Fiqh dirumuskan untuk individu, bukan untuk
organisasi karena umat Islam diawal tidak pernah berpikir tentang lembaga terutama
lembaga keuangan. Fiqh bukan untuk mengatur transaksi-transaksi antar lembaga
dengan lembaga maupun antar lembaga dengan individu. Yang menjadi persoalan
adalah bagaimana cara menerapkan fiqh tersebut pada lembaga. Dengan fiqh dapat
mengakomodasi ekonomi kedalam hal-hal yang diperlukan sesuai syari’ah.
Pada sistem perbankan Syariah, kenapa belum
bisa berjalan efektif? Karena umat muslimnya yang belum bisa menerapkan prinsip
Syariah, baik lending dan funding bank maupun nasabah. Didalam
bank Syariah hadiah undian merupakan sesuatu yang haram, maka dari itu di
perbankan syari’ah jarang bahkan tidak ditemukannya undian berhadiah. Pada
dasarnya tidak ada seorang pun dalam bertransaksi bisa menghindari riba,
spekulasi maupun gharar secara total.
Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang
memperbolehkan Hedging Syariah dalam Perbankan Syariah dikeluarkan oleh MUI.
Hedging sendiri mengandung unsur gharar
(ketidakpastian). Setiap fatwa tentang ekonomi Syariah selalu ada respon
positif dan negatif. MUI mengeluarkan fatwa karena ada beberapa tujuan dan
alasan dengan landasan yang sesuai tuntunan.
Sebuah fatwa, baik fatwa suatu ormas, fatwa
pemerintah maupun fatwa individu tidak terlepas dari dua metode (Al-Minhajj),
yaitu Minhajjur Raddi dan Minhajjur Kulli/Maqosidi.
1. Minhajjur
Raddi
Yaitu
bagaimana cara masa kini dijadikan sama dengan masa lalu atau masa klasik.
Contohnya
yaitu Imam Rafii menjadikan
landasan diperbolehkannya jual beli melalui email, sms maupun telepon. Yang
menghalangi Minhajjur Raddi yaitu para ulama susah membedakan antara Jahalal
dengan Gharar. Jahalah (Ketidaktahuan) ada yang diperbolehkan. Contohnya yaitu
akad nikah. Jahalah bisa membatalkan
suatu akad jika berpotensi ke pengadilan. Selain Gharar dan Jahalal, ada juga
Al-Maysir
(Spekulasi). Contoh dari Al-Maysir
yaitu peramalan atau forcasting.
Dalam dunia bisnis, Maysir
tidak dapat dihindari. Maysir
bisa diminimalkan dengan cara input.
2. Minhajjur
Kulli/Maqosidi
Merupakan
metode berdasarkan nilai-nilai universal Syariah. Minhajur Kulli membutuhkan
interdisipliner.
Hedging syari’ah itu sendiri diambil dengan metode Minhajjur
Kulli/Maqosidi. Dilihat dari
nilai-nilai universal syari’ah dengan menghubungkan fiqh dan realita yang ada. Hedging syari’ah
biasanya dilakukan oleh oknum
pelaku industri, usaha
maupun regulator syariah dalam bersaing dalam global. Produk lindung nilai ini mengelola risiko nilai
tukar pada musim haji. Dengan
adanya hedging syariah, dilindungilah biaya naik haji. MUI sendiri sudah memberikan penjelasan tentang hedging syari’ah dan melakukan kajian
komprehensif dengan OJK, serta sudah dituangkan dalam DSN-MUI Nomor:
B-204/DSN-MUI/VI/2014 tentang Kesesuaian Syari’ah Term Deposit Valas Syari’ah
tanggal 20 Juni 2014.*
*)
dalam “Forum Islamic Economicts Discussion” bertemakan “Fenomena Hedging
Syari’ah” pada 15 Mei 2015 di Ruang Lembaga FE UII, dengan pembicara Drs.
Asmuni, Mth., M.A
0 komentar:
Posting Komentar