Awal mula perlu disampaikan bahwa
penulis bukanlah berlatar belakang pendidikan manajemen, melainkan akuntansi
dan filsafat Islam yang kebetulan sedang mengambil mata kuliah manajemen
pemasaran pada semester ini. Jika terdapat kesalahan ataupun ketidak tepatan
mohon dikoreksi dan dibenarkan bagi yang merasa mumpuni di bidang manajemen,
khususnya di bidang pemasaran. Terimakasih.
Muqaddimah
Ingatan masih segar akan peristiwa
WTC 11 Sepetember 2001. Belum lama juga peristiwa al-Qaeda yang diganyangkan sebagai organisasi terorisme yang
katanya pula pepimpin utama al-Qaeda,
yakni Osamah bin Ladden telah berhasil dibunuh. Belum lagi peristiwa-peristiwa
yang sekenanya berusaha menjadikan Islam adalah agama yang keras, tidak
beradab, tidak kenal kaya, tidak bersih, tidak pandai dan tidak-tidak yang
lainnya. Semua yang ditampilkan di media seakan-akan Islam adalah agama yang
primitif. Puncaknya berujung pada Islamophobia
yang dicoba untuk dikoar-koarkan guna menghancurkan peradaban Islam.
Bila saja kita hendak menerawang
lebih jauh, maka tidak dapat dipungkiri apa yang dikatakan Islamophobia, terorisme dan hal lain yang tujuannya untuk
menghancurkan Islam adalah tidak lain dari sebuah perencanaan matang yang
diada-adakan. Jadi, pada intinya semua agenda-agenda itu sudah direncanakan
secara matang. Pertanyaannya adalah “who
are the actors behind the scenes?”
Ada sebuah survey statistik yang
dilakukan lembaga bernama Gallup yang menunjukkan bahwa setelah peritiwa 9/11, jumlah
muslim di AS meningkat sebanyak 200.000 orang per tahun dalam satu dekade.
Sensus religi juga mencatat kenaikan 67% jumlah Muslim meningkat, yang semula
berjumlah 1 juta menjadi 2,6 juta orang pada tahun 2010.
Dan juga ada seorang keturunan
Indonesia, Imam Shamsi Ali yang dinobatkan oleh Pusat Kebudayaan Islam di New
York sebagai salah satu figur agama yang paling berpengatuh di AS pada tahun
2009.
Singkat cerita, apa yang telah di
usahakan oleh “actors behind the scenes”
guna menghancurkan Islam, ternyata tindakan sia-sia belaka. Justru yang terjadi
adalah sebaliknya. Harapan mereka untuk memarjinalkan Islam terkubur sudah
walaupun usaha itu terus dilakukan hingga saat ini. Tapi yakinlah, bahwa yang al-Haq tetaplah al-Haq dan yang al-Bathil
tetaplah al-Bathil.
Selanjutnya dari tulisan ini akan
membahas sedikit lebihnya produk-produk ber-merk Islami (Islamic branding) dengan segala potensi dan temuan-temuan di
lapangan lainnya yang saat ini sedang booming
walau di tengah suara miring.
Epistemology of Islamic Marketing
Islam
sebagai agama, juga menjadi jalan hidup (worldview atau weltanschauung) yang mengatur segala sendi kehidupan pemeluknya.
Syariat islam tidak hanya mengatur aspek ibadah tetapi juga mengatur aspek mu’amalah.
Bertolak pada dalil; “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik
dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan
keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”(QS.
Al-Baqarah: 168-169).
Dan
sebuah hadits; “Perkara yang halal itu
jelas dan yang haram itu jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat
perkara-perkara yang tersamar (meragukan) dan banyak orang tidak mengetahuinya.
Maka siapa yang menghindari perkara-perkara yang meragukan, iapun telah
membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan siapa yang terjerumus dalam
perkara-perkara yang meragukan, ia pun bisa terjerumus dalam perkara yang
haram. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang dan
nyaris terjerumus di dalamnya” (HR Bukhari dan Muslim, Hadist ke 6 pada Arba’in
Imam Nawawi).
Dari
kedua dalil di atas, sebagai Muslim hendaknya hanya mengkonsumsi
perkara-perkara yang sudah ditentukan ke-halal-annya baik itu berupa barang
ataupun jasa. Serta di saat yang bersamaan menghindari perkara-perkara yang
sudah ditentukan keharaman dan keraguannya.
Syariat
Islam menuntun para praktisi pemasaran untuk melakukan usaha-usaha pemasaran
dengan mengedepankan nilai-nilai akhlak yang mulia. Adapun cakupan Islamic
Marketing ialah product (misalnya: tidak mengandung unsur atau bahan
baku yang diharamkan) juga pricing (misalnya: penetapan harga
yang tidak mengandung judi, gharar dan riba), promotion (misalnya: tidak
menggunakan penipuan atau sumpah palsu, tidak menggunakan sex appeal dalam
tayangan iklan), dan juga place (misalnya: tidak berjualan di
tempat yang dilarang seperti masjid atau pada waktu yang
dilarang seperti waktu sholat berjamaah).[1]
Walaupun
dalam halnya banyak perkara-perkara yang dilarang. Namun syariat Islam tidak
mengekang kreativitas umatnya. Sebenarnya hal-hal yang diperbolehkan itu jauh
lebih baik dari pada hal-hal yang dilarang. ‘Ulama telah menyusun kaidah hukum
asal dari mu’amalah adalah “boleh kecuali
bila ada dalil yang melarangnya”.[2]
Allah tidaklah melarang sesuatu melainkan hal itu mengandung mudharat, sesuatu
yang merugikan. Maka, hendaknya syari’at dijadikan landasan utama bagi praktisi
pemasaran, khususnya dalam cakupan Islamic Marketing.
Syaikh
al-Qardhawi juga mengatakan, di antara nilai transaksi yang terpenting dalam
bisnis ialah al-Amanah (kejujuran).
Ia merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari
orang beriman.[3]
Islamic Market
Pasar
Muslim diperkirakan sejauh ini telah berkembang 21,01% atau 1,43 triliun dari
total populasi dunia.[4]
Dan menurut Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life pada 2030
akan ada sekitar 26,4% dari total penduduk dunia adalah Muslim atau berjumlah
sekitar 2,2 miliar jiwa.
Mengingat
jumlah populasi dan perkembangan perdaban umat Islam saat ini begitu pesat.
Maka, diperlukan pasar Muslim guna memenuhi kebutuhan umat Muslim yang tentunya
tidak terlepas dari syari’at Islam. Bukan hanya itu, ini juga merupakan big opportunity bagi umat Muslim untuk
terjun dalam mengembangkan Islamic market ini. Jangan sampai kesempatan ini
sia-sia, justru di ambil oleh pihak non-Muslim, seperti contoh berikut. Pada World Halal Forum Exibition yang ketiga,
Nestle menampilkan produk-produk mereka seperti Koko Crunch, Maggie Mie,
PowerBars, Ice Cream dan lain sebaginya sebagai produk halal yang siap terjun
ke pasar Islam. Dan pada tahun 2009 Nestle beronvestasi besar ke Malaysia guna
mengembangkan permintaan produk-produk halal di Malaysia.
Perusahaan-perusahaan
yang notabenenya berasal dari non-Muslim kini berbondong-bondong mengincar pasar
Islam guna menghasilkan produk halal. Sebab mereka mengerti pasar Islam terlalu
sexy bagi mereka untuk tidak terjun kedalamnya. Lalu bagaimana dengan
perusahaan-perusahaan yang notabenenya dikelola oleh Muslim?
Islamic Branding
Sebenarnya hingga saat ini, belum
ada kesepahaman akan apa yang dimaksud dengan Islamic Branding.[5]
Mengingat situasi yang terkadang ketika menggunakan termonologi “Islami” maka
akan dipandang Islam, padahal ada banyak aspek yang perlu dikaji sebelum itu. Contohkan
saja ketika Islamic branding digunakan untuk menggambarkan produk asli yang
berasal dari negara Islam atau mayoritasnya Muslim yang memproduksi minuman
anggur (wine), maka anggur itu dikatakan “Islami” karena diproduksi di negara
Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim. Bila pengertian semacam ini
terjadi, maka akan benar ditemukan hal yang seperti di contohkan. Turki pada
tahun 2005 berdasarkan data International Organization of Vine and Wine
berhasil memproduksi 287 ton kubik anggur. Contoh lainnya yang ditemukan di
lapangan adalah sebanyak 350.000 babi diternakkan di Mesir (pada tahun 2009
semua babi di Mesir habis karena flu babi)[6] .
Padahal, sudah barang tentu yang namanya minuman memabukkan (khamar) seperti wine,
vodka, ruum dan lain sebagainya, serta babi adalah haram hukumnya. Petanyaannya
adalah kenapa itu semua bisa terjadi di negara Islam?
Maka, agar tidak terjadi kesalah
tafsiran dan penggunaan istilah yang tidak jujur. Terminologi “Islamic branding” setidaknya bisa
didefinisikan dengan 3 cara yang berbeda:
Islamic brands by compliance (sesuai dengan syari’at/halal), yakni yang berdasar pada syariah Islam (sharia-complient) yang kebanyakan berkonsentrasi pada sektor keuangan dan makanan. Targetnya lebih menekankan pada konsumen karena berbasi agama, walaupun pada kenyataannya konsumen non-Muslim juga ada.
Islamic
brands by country of origin (berasal dari negara Muslim), ialah merk dagang
yang berasal dari negara Islam. Seperti Emirates Airlines untuk maskapai
penerbangan, Emirati Etisalat dan Egyptian Orascom untuk provider
telekomunikasi, SAUDI Sabic untuk bidang industri dan sebagainya.
Islamic
brands by consumer (targetnya adalah Muslim), ialah merk dagang yang
berasal dari negara non-Muslim yang memiliki target pasar Muslim yang tentu
sesuai dengan penerapan syari’at Islam. Contohnya adalah perusahaan-perusahaan
Multi Nasional, seperti McDonald, L’Oreal, Nestle, Unilever, KFC dan sebaginya.
Perusahaan-perusahaan di atas telah berinvestasi besar untuk ikut ambil bagian
dalam pasar Islam dunia (Islamic Market), sehingga 90% total pasar Islam dunia didominasi
oleh mereka baik dibidang makanan halal, kosmetik dan kesehatan.[7]
Ogilvy & Mather tergerak
batinnya melakukan riset tentang pasar Muslim di tengah maraknya Islamophobia
pada tahun 2010. Hasil dari riset tersebut, pasar Muslim sangat potensial
prospeknya untuk masa depan, dan Ogilvy bersama Ogilvy Noor siap menggarapnya
melalui ilmu baru di bidang komunikasi pemasaran, yakni Islamic Branding.
Islamic Branding diperlukan karena tidak
hanya perubahan mindset yang dahulu kerap berkiblat pada Barat, tetapi juga
kesadaran orang untuk beragama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Islamic Branding menawarkan filosofi sekaligus the way of life yang berujung pada satu konsep, yakni ketaatan pada
Tuhan Yang Esa atau dengan kata lain adalah Tauhid.
Kualitas
tetap menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Tidak ada yang namanya “atas
nama Tuhan” lalu kemudian dengan lelangsa mengabaikan kualitas. Jadi, kualitas
juga merupakan perhatian utama dalam Islamic Branding. Karena sering dijumpai
hal-hal yang semisalnya membawa embel-embel agama kerap berkualitas kurang
bagus.
Skytrax,
sebuah situs ulasan maskapai penerbangan pada pertengahan Juli 2012 mengumumkan
10 maskapai terbaik dunia dengan indikator tingkat kepuasan penumpang. Qatar
Airways menduduki posisi pertama, Etihad Airways di posisi enam dan Emirates di
posisi delapan. Survei ini secara tidak langsung memuntahkan persepsi negatif
tentang Islam. Karena merk-merk maskapai penerbangan yang disebutkan di atas
tidak lain adalah produk-produk dari negara Islam.
Qatar
Airways, Etihad Airways dan Emirates secara terang-terangan memang tidak
menyebutkan Islam dalam labelnya. Namun, mereka menerapkan nilai-nilai
universal Islam dengan mengutamakan kualitas layanan. Mereka melihat bahwa di
sinilah kesempatan mereka untuk menaikkan kembali citra Islam di mata dunia.
Barangkali
dengan tulisan yang singkat dan tidak seberapa ini bisa menambah wawasan kita
tentang pergolakan Islamic branding
di tengah sedang berkembangnya penyakit hati yang bernama Islamophobia. Perkara Islamophobia
yang lain barangkali bisa pembaca gali sendiri dengan bacaan-bacaan yang
tersedia. Setidaknya bisa ditangkap bahwa, merk-merk yang bernotabene Islam
sedang sangat digandrungi saat ini, baik dari segi konsumen maupun produsen.
Walaupun di sisi lain sedang terjadi proyek de-Islamisasi yang di koar-koarkan
ke seluruh penjuru dunia.
Wallahu ‘alam
bi al-Ahkam wa al-Showwab.
Oleh
: Ismail Saleh Siregar (PSDI IESC FE UII)
[1] Imam Salehudin
& Basuki Muhammad Mukhlis (2012), Pemasaran Halal:
Konsep,
Implikasi dan Temuan di Lapangan, in Ikatan Alumni FEUI (Ed.), Dulu
mendengar
sekarang bicara: kumpulan tulisan ekonom muda FEUI (pp. 293-305). Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI
[2] Imam as-Suyuthi, al-Ashbah wa
an-Nadzha’ir, 1/60
[3] Muhammad Yusuf al-Qardhawi, Musykilah al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1997)
[4] CIA, The World Fact Book,
available at: www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook
[5]A. Copinath, Branding faith, The
Edge, July 7 2007
[6]
Baker Ahmad Alserhan, Islamic branding: a
conseptulaization of related terms, Journal of Brand Management, September
2010
[7]
Baker Ahmad Alserhan, Islamic branding: a
conseptulaization of related terms, Journal of Brand Management, September 2010
0 komentar:
Posting Komentar