Semakin hari kebutuhan setiap orang semakin meningkat. Baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Bahkan, sebagian ada yang memiliki kebutuhan di luar batas kemampuannya. Akibatnya, berhutang pun tak bisa dihindarkan. Sehingga, alih-alih menabung untuk hari depan, “gali lobang tutup lobang” malahan sudah menjadi kebiasaan.
Seiring berjalannya waktu sektor pasar pun membaca fenomena ini. Ini dapat dijumpai dengan maraknya “sistem” yang mencoba dibangun untuk memecahkannya. Salah satunya yang dikenal dengan istilah Gadai. Secara etimologis, gadai berarti meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Jika telah sampai pada waktunya barang tersebut tidak ditebus, maka barang tersebut menjadi hak yang memberi pinjaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Gadai yang kerap kita jumpai di tengah-tengah masyarakat yakni gadai yang bersistem konvensional. Memang ada gadai syariah, namun jumlahnya masih dalam hitungan jari. Belum seperti menjamurnya gadai yang bersistem Konvensional. Walaupun memang sebenarnya wajar saja. Mengapa? Sebab, sistem ekonomi islam di Indonesia pun baru berdengung di awal 1990-an. Ini ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang dirumuskan oleh Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, pengetahuan masyarakat tentang sistem ekonomi syariah (sistem islam) pun masih minim.
Adapun jika kita melirik Al Qur’an dan Al Hadits, banyak sekali nash yang menjelaskan tentang bolehnya sistem gadai. Diantaranya,
Anas ra pernah menuturkan : “Sesungguhnya Nabi Saw pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga beliau.” (HR. Bukhari) dan dalam Al-quran disebutkan bahwa Allah SwT berfirman: “Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah [2]: 283).
Prakteknya, ada beberapa rukun yang harus dipenuhi untuk melaksanakan gadai syariah. Yakni, adanya ijab qabul; adanya pihak yang berakad; yaitu pihak yang menggadaikan (rahn) dan yang menerima gadai (murtahin); adanya jaminan (marhun) berupa barang atau harta; adanya utang (marhun bih). Sedangkan dalam pelaksanaan secara operasioanal, payung hukum gadai syariah sendiri berpegang pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahndiperbolehkan. Disamping itu, dalam Fatwa tersebut juga dijelaskan tentang tak bolehnya murtahin (penerima barang) memanfaatkan marhun, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang tak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman, dan hal teknis lainnya.
Perbedaan mendasar antara gadai syariah (rahn) dengan gadai konvensional, yakni pada ada dan tidaknya bunga. Dalam gadai konvensional, nasabah dikenakan bunga. Akan tetapi, dalam gadai syariah tidak. Nasabah hanya dipungut untuk berbagai macam biaya, seperti biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran. Adapun perbedaan utama antara biaya gadai syariah (rahn) dengan bunga pegadaian (konvensional) adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.
Dalam gadai syariah, sifat barang yang digadaikan harus sesuai dengan hukum islam, sedangkan sifat barang yang digadaikan dalam gadai konvensional tergantung kesepakatan kedua pihak dan tak terikat oleh aturan agama. Di gadai syariah barang gadai dapat dilunasi sebelum jatuh tempo dan tak terkena penalty, sedangkan dalam gadai konvensional, karena menggunakan sistem bunga, tentu saja jika melunasi barang gadai sebelum jatuh tempo akan terkena penalty.
Barang yang boleh digadaikan pun adalah barang yang mempunyai nilai guna atau yang dapat diperjual belikan. Tidak diperbolehkan menggadaikan barang yang diharamkan dalam islam, seperti anjing, babi, alkohol, bangkai, patung, harta curian, atau harta yang belum dimiliki secara sah tak boleh digadaikan.
Bank (dalam hal ini sebagai murtahin) diperbolehkan mengklaim biaya pemeliharaan. Ini didasarkan pada hadits,
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, berkata, bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung (hewan yang dapat ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan, dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR. Bukhari 2511, 2512).
Dari hadits tersebut didapatkan kesimpulan bahwa, bolehnya pemegang barang gadai memanfaatkan barang gadai dengan syarat harus seimbang antara pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut.
Adapun barang yang digadaikan (marhun) adalah sekedar jaminan hutang apabila tidak dapat melunasi hutangnya, dan barang gadai tidak harus menjadi pengganti hutang tersebut, sehingga tidak harus sama atau seimbang antara harga barang dengan jumlah hutangnya. Bahkan, boleh kurang atau lebih apabila kedua belah pihak rela (suka sama suka). Dan apabila orang yang berhutang tidak dapat melunasi hutangnya, maka pemegang barang gadai tersebut berhak menuntut pembayaran hutangnya serta boleh menahan barang tersebut sampai hutangnya dibayar. Ini lantaran barang tersebut berstatus milik penggadai barang.
Yang perlu diperhatikan, dalam menaksir harga barang gadai, sebaiknya tidak sampai 100%. Ini karena agar dibedakan antara gadai barang dengan jual barang. Juga sebagai antisipasi jika orang yang memnggadaikan (ar-rahn) tidak bisa melunasi ketika jatuh tempo. Sebab, andaikan 100% maka ia kemungkinan besar akan melepas urusannya dengan penerima gadai (murtahin) lantaran merasa impas antara yang ia berikan dengan yang diberikan oleh penggadai.
Uraian diatas membuktikan bahwa dalam gadai syariah tak ada yang dirugikan, baik yang menggadaikan barang maupun pihak yang dititipi. Setiap prosesnya dilandasi dengan suka sama suka dan berasaskan pada keadilan.
Semoga mata hati kita semakin terbuka hingga sanggup menatap keindahan dan kesempurnaan Islam. Menyadari bahwa Islam sudah mengatur bagaimana masuk toilet hingga bagaimana membangun negara, dan dari mulai bagaimana bertetangga hingga membangun peradaban lewat perekonomian.
Oleh : Dimas Purlevo
Editor : Uman Miftah Sajidin
0 komentar:
Posting Komentar