Selasa, 28 Januari 2014

Islamic Branding; Tetap Nyaring di tengah Hiruk-pikuk Suara Miring.



            Awal mula perlu disampaikan bahwa penulis bukanlah berlatar belakang pendidikan manajemen, melainkan akuntansi dan filsafat Islam yang kebetulan sedang mengambil mata kuliah manajemen pemasaran pada semester ini. Jika terdapat kesalahan ataupun ketidak tepatan mohon dikoreksi dan dibenarkan bagi yang merasa mumpuni di bidang manajemen, khususnya di bidang pemasaran. Terimakasih.
Muqaddimah
            Ingatan masih segar akan peristiwa WTC 11 Sepetember 2001. Belum lama juga peristiwa al-Qaeda yang diganyangkan sebagai organisasi terorisme yang katanya pula pepimpin utama al-Qaeda, yakni Osamah bin Ladden telah berhasil dibunuh. Belum lagi peristiwa-peristiwa yang sekenanya berusaha menjadikan Islam adalah agama yang keras, tidak beradab, tidak kenal kaya, tidak bersih, tidak pandai dan tidak-tidak yang lainnya. Semua yang ditampilkan di media seakan-akan Islam adalah agama yang primitif. Puncaknya berujung pada Islamophobia yang dicoba untuk dikoar-koarkan guna menghancurkan peradaban Islam.
            Bila saja kita hendak menerawang lebih jauh, maka tidak dapat dipungkiri apa yang dikatakan Islamophobia, terorisme dan hal lain yang tujuannya untuk menghancurkan Islam adalah tidak lain dari sebuah perencanaan matang yang diada-adakan. Jadi, pada intinya semua agenda-agenda itu sudah direncanakan secara matang. Pertanyaannya adalah “who are the actors behind the scenes?
            Ada sebuah survey statistik yang dilakukan lembaga bernama Gallup yang menunjukkan bahwa setelah peritiwa 9/11, jumlah muslim di AS meningkat sebanyak 200.000 orang per tahun dalam satu dekade. Sensus religi juga mencatat kenaikan 67% jumlah Muslim meningkat, yang semula berjumlah 1 juta menjadi 2,6 juta orang pada tahun 2010.
            Dan juga ada seorang keturunan Indonesia, Imam Shamsi Ali yang dinobatkan oleh Pusat Kebudayaan Islam di New York sebagai salah satu figur agama yang paling berpengatuh di AS pada tahun 2009.
            Singkat cerita, apa yang telah di usahakan oleh “actors behind the scenes” guna menghancurkan Islam, ternyata tindakan sia-sia belaka. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Harapan mereka untuk memarjinalkan Islam terkubur sudah walaupun usaha itu terus dilakukan hingga saat ini. Tapi yakinlah, bahwa yang al-Haq tetaplah al-Haq dan yang al-Bathil tetaplah al-Bathil.
            Selanjutnya dari tulisan ini akan membahas sedikit lebihnya produk-produk ber-merk Islami (Islamic branding) dengan segala potensi dan temuan-temuan di lapangan lainnya yang saat ini sedang booming walau di tengah suara miring.

Epistemology of Islamic Marketing
            Islam sebagai agama, juga menjadi jalan hidup (worldview atau weltanschauung) yang mengatur segala sendi kehidupan pemeluknya. Syariat islam tidak hanya mengatur aspek ibadah tetapi juga mengatur aspek mu’amalah. Bertolak pada dalil; “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. Al-Baqarah: 168-169).

            Dan sebuah hadits; “Perkara yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang tersamar (meragukan) dan banyak orang tidak mengetahuinya. Maka siapa yang menghindari perkara-perkara yang meragukan, iapun telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara-perkara yang meragukan, ia pun bisa terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang dan nyaris terjerumus di dalamnya” (HR Bukhari dan Muslim, Hadist ke 6 pada Arba’in Imam Nawawi).

            Dari kedua dalil di atas, sebagai Muslim hendaknya hanya mengkonsumsi perkara-perkara yang sudah ditentukan ke-halal-annya baik itu berupa barang ataupun jasa. Serta di saat yang bersamaan menghindari perkara-perkara yang sudah ditentukan keharaman dan keraguannya.

            Syariat Islam menuntun para praktisi pemasaran untuk melakukan usaha-usaha pemasaran dengan mengedepankan nilai-nilai akhlak yang mulia. Adapun cakupan Islamic Marketing ialah product (misalnya: tidak mengandung unsur atau bahan baku yang diharamkan) juga pricing (misalnya: penetapan harga yang tidak mengandung judi, gharar dan riba), promotion (misalnya: tidak menggunakan penipuan atau sumpah palsu, tidak menggunakan sex appeal dalam tayangan iklan), dan juga place (misalnya: tidak berjualan di
tempat yang dilarang seperti masjid atau pada waktu yang dilarang seperti waktu sholat berjamaah).[1]

            Walaupun dalam halnya banyak perkara-perkara yang dilarang. Namun syariat Islam tidak mengekang kreativitas umatnya. Sebenarnya hal-hal yang diperbolehkan itu jauh lebih baik dari pada hal-hal yang dilarang. ‘Ulama telah menyusun kaidah hukum asal dari mu’amalah adalah “boleh kecuali bila ada dalil yang melarangnya”.[2] Allah tidaklah melarang sesuatu melainkan hal itu mengandung mudharat, sesuatu yang merugikan. Maka, hendaknya syari’at dijadikan landasan utama bagi praktisi pemasaran, khususnya dalam cakupan Islamic Marketing.

            Syaikh al-Qardhawi juga mengatakan, di antara nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis ialah al-Amanah (kejujuran). Ia merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang beriman.[3]

Islamic Market

            Pasar Muslim diperkirakan sejauh ini telah berkembang 21,01% atau 1,43 triliun dari total populasi dunia.[4] Dan menurut Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life pada 2030 akan ada sekitar 26,4% dari total penduduk dunia adalah Muslim atau berjumlah sekitar 2,2 miliar jiwa.

            Mengingat jumlah populasi dan perkembangan perdaban umat Islam saat ini begitu pesat. Maka, diperlukan pasar Muslim guna memenuhi kebutuhan umat Muslim yang tentunya tidak terlepas dari syari’at Islam. Bukan hanya itu, ini juga merupakan big opportunity bagi umat Muslim untuk terjun dalam mengembangkan Islamic market ini. Jangan sampai kesempatan ini sia-sia, justru di ambil oleh pihak non-Muslim, seperti contoh berikut. Pada World Halal Forum Exibition yang ketiga, Nestle menampilkan produk-produk mereka seperti Koko Crunch, Maggie Mie, PowerBars, Ice Cream dan lain sebaginya sebagai produk halal yang siap terjun ke pasar Islam. Dan pada tahun 2009 Nestle beronvestasi besar ke Malaysia guna mengembangkan permintaan produk-produk halal di Malaysia.

            Perusahaan-perusahaan yang notabenenya berasal dari non-Muslim kini berbondong-bondong mengincar pasar Islam guna menghasilkan produk halal. Sebab mereka mengerti pasar Islam terlalu sexy bagi mereka untuk tidak terjun kedalamnya. Lalu bagaimana dengan perusahaan-perusahaan yang notabenenya dikelola oleh Muslim?

Islamic Branding
            Sebenarnya hingga saat ini, belum ada kesepahaman akan apa yang dimaksud dengan Islamic Branding.[5] Mengingat situasi yang terkadang ketika menggunakan termonologi “Islami” maka akan dipandang Islam, padahal ada banyak aspek yang perlu dikaji sebelum itu. Contohkan saja ketika Islamic branding digunakan untuk menggambarkan produk asli yang berasal dari negara Islam atau mayoritasnya Muslim yang memproduksi minuman anggur (wine), maka anggur itu dikatakan “Islami” karena diproduksi di negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim. Bila pengertian semacam ini terjadi, maka akan benar ditemukan hal yang seperti di contohkan. Turki pada tahun 2005 berdasarkan data International Organization of Vine and Wine berhasil memproduksi 287 ton kubik anggur. Contoh lainnya yang ditemukan di lapangan adalah sebanyak 350.000 babi diternakkan di Mesir (pada tahun 2009 semua babi di Mesir habis karena flu babi)[6] . Padahal, sudah barang tentu yang namanya minuman memabukkan (khamar) seperti wine, vodka, ruum dan lain sebagainya, serta babi adalah haram hukumnya. Petanyaannya adalah kenapa itu semua bisa terjadi di negara Islam?
            Maka, agar tidak terjadi kesalah tafsiran dan penggunaan istilah yang tidak jujur. Terminologi “Islamic branding” setidaknya bisa didefinisikan dengan 3 cara yang berbeda:

            Islamic brands by compliance (sesuai dengan syari’at/halal), yakni yang berdasar pada syariah Islam (sharia-complient) yang kebanyakan berkonsentrasi pada sektor keuangan dan makanan. Targetnya lebih menekankan pada konsumen karena berbasi agama, walaupun pada kenyataannya konsumen non-Muslim juga ada.
            Islamic brands by country of origin (berasal dari negara Muslim), ialah merk dagang yang berasal dari negara Islam. Seperti Emirates Airlines untuk maskapai penerbangan, Emirati Etisalat dan Egyptian Orascom untuk provider telekomunikasi, SAUDI Sabic untuk bidang industri dan sebagainya.
            Islamic brands by consumer (targetnya adalah Muslim), ialah merk dagang yang berasal dari negara non-Muslim yang memiliki target pasar Muslim yang tentu sesuai dengan penerapan syari’at Islam. Contohnya adalah perusahaan-perusahaan Multi Nasional, seperti McDonald, L’Oreal, Nestle, Unilever, KFC dan sebaginya. Perusahaan-perusahaan di atas telah berinvestasi besar untuk ikut ambil bagian dalam pasar Islam dunia (Islamic Market), sehingga 90% total pasar Islam dunia didominasi oleh mereka baik dibidang makanan halal, kosmetik dan kesehatan.[7]
            Ogilvy & Mather tergerak batinnya melakukan riset tentang pasar Muslim di tengah maraknya Islamophobia pada tahun 2010. Hasil dari riset tersebut, pasar Muslim sangat potensial prospeknya untuk masa depan, dan Ogilvy bersama Ogilvy Noor siap menggarapnya melalui ilmu baru di bidang komunikasi pemasaran, yakni Islamic Branding.
            Islamic Branding diperlukan karena tidak hanya perubahan mindset yang dahulu kerap berkiblat pada Barat, tetapi juga kesadaran orang untuk beragama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Islamic Branding menawarkan filosofi sekaligus the way of life yang berujung pada satu konsep, yakni ketaatan pada Tuhan Yang Esa atau dengan kata lain adalah Tauhid.

            Kualitas tetap menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Tidak ada yang namanya “atas nama Tuhan” lalu kemudian dengan lelangsa mengabaikan kualitas. Jadi, kualitas juga merupakan perhatian utama dalam Islamic Branding. Karena sering dijumpai hal-hal yang semisalnya membawa embel-embel agama kerap berkualitas kurang bagus.

            Skytrax, sebuah situs ulasan maskapai penerbangan pada pertengahan Juli 2012 mengumumkan 10 maskapai terbaik dunia dengan indikator tingkat kepuasan penumpang. Qatar Airways menduduki posisi pertama, Etihad Airways di posisi enam dan Emirates di posisi delapan. Survei ini secara tidak langsung memuntahkan persepsi negatif tentang Islam. Karena merk-merk maskapai penerbangan yang disebutkan di atas tidak lain adalah produk-produk dari negara Islam.

            Qatar Airways, Etihad Airways dan Emirates secara terang-terangan memang tidak menyebutkan Islam dalam labelnya. Namun, mereka menerapkan nilai-nilai universal Islam dengan mengutamakan kualitas layanan. Mereka melihat bahwa di sinilah kesempatan mereka untuk menaikkan kembali citra Islam di mata dunia.
           
            Barangkali dengan tulisan yang singkat dan tidak seberapa ini bisa menambah wawasan kita tentang pergolakan Islamic branding di tengah sedang berkembangnya penyakit hati yang bernama Islamophobia. Perkara Islamophobia yang lain barangkali bisa pembaca gali sendiri dengan bacaan-bacaan yang tersedia. Setidaknya bisa ditangkap bahwa, merk-merk yang bernotabene Islam sedang sangat digandrungi saat ini, baik dari segi konsumen maupun produsen. Walaupun di sisi lain sedang terjadi proyek de-Islamisasi yang di koar-koarkan ke seluruh penjuru dunia.

Wallahu ‘alam bi al-Ahkam wa al-Showwab.

Oleh : Ismail Saleh Siregar (PSDI IESC FE UII)





[1] Imam Salehudin & Basuki Muhammad Mukhlis (2012),  Pemasaran Halal:
Konsep, Implikasi dan Temuan di Lapangan, in Ikatan Alumni FEUI (Ed.), Dulu mendengar
sekarang bicara: kumpulan tulisan ekonom muda FEUI (pp. 293-305). Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI
[2] Imam as-Suyuthi, al-Ashbah wa an-Nadzha’ir, 1/60
[3] Muhammad Yusuf al-Qardhawi, Musykilah al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997)
[4] CIA, The World Fact Book, available at: www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook
[5]A. Copinath, Branding faith, The Edge, July 7 2007
[6] Baker Ahmad Alserhan, Islamic branding: a conseptulaization of related terms, Journal of Brand Management, September 2010
[7] Baker Ahmad Alserhan, Islamic branding: a conseptulaization of related terms, Journal of Brand Management,                          September 2010
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar