Kamis, 14 November 2013

Kedaulatan dan (Mental) Kita

Masih segar di ingatan, ketika Presiden ketiga kita, Bapak BJ. Habibie, berpidato di depan beberapa anggota DPR dan MPR. Dalam pidatonnya beliau menyampaikan betapa pentingnya kedaulatan teknologi dimiliki oleh Bangsa Indonesia yaitu dengan kemandirian produksi teknologi yang dibutuhkan negara. Saat itu nampak anggukan-anggukan dari peserta tanda kesepahaman. Bahkan beberapa pejabat, di depan wartawan, mengungkapkan bahwa mereka sangat setuju dengan isi pidato yang Pak Habibie sampaikan.

Beberapa tahun setelah pidato yang beliau sampaikan itu, indonesia memang maju. Pertumbuhan ekonomi merangkak naik dan dengan bangga pemerintah mengatakan Indonesia masuk 20 besar negara maju di dunia.  

Memang benar, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 bisa mencapai 6,23% (YoY) dan merupakan salah satu yang tertinggi di Asia setelah China yang tumbuh sebesar 7,8% (YoY). Namun pertanyaannya, dengan pertumbuhan ekonomi seperti itu sudah kah Indonesia berdaulat minimal secara ekonomi? Kedaulatan merupakan suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri. Dalam hal kedaulatan ekonomi, sudahkah indonesia berdaulat?

Tidak terbantahkan Indonesia merupakan negara berdaulat, tetapi jangan-jangan hanya berdaulat secara “politik”. Kedaulatan dalam hal ekonomi dan pasar, ditengah merangkak naiknnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, sepertinya perlu dipertanyakan karena perekonomian cenderung didominasi asing. Seperti tertulis dalam tajuk rencana tempo, jumat 8 November, Indonesia memiliki kedaulatan mata uang, tetapi di bidang perbankan, sebesar 50.6% aset perbankan nasional dimiliki oleh asing.
Ilutrasi

Di bidang telekomunikasi, asing menguasai sebesar 35-60% aset nasional. Dengan dominasi seperti itu, pantas saja terjadi penyadapan alat telekomunikasi oleh negara lain. Bagaimana pemerintah bisa menjaga kedaulatan komunikasi, jika telekomunikasi ikut dikendalikan asing? Dalam bidang wisata alam kepemilikan asing juga diperluas dari 49% menjadi 70%, sementara dibidang farmasi dari 75% menjadi 85%. 

Wah... dengan kekuatan asing yang begitu dominan, dikhawatirkan daya tawar Indonesia semakin melemah. Apalagi program untuk kemandirian ekonomi bangsa, terkesan setengah-setengah. Indonesia menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi produk asing. Berbagai jenis buah-buahan yang bisa ditanam dan dikembangkan di negara sendiri malah harus impor. Garam, bawang, dan beras yang menjadi barang pokok pun begitu deras masuk kepasar Indonesia. Sudah didalam negeri dikuasai asing, masih harus diserbu pula oleh produk-produk asing.

Ah sudahlah
Ternyata diam-diam, disana, ada yang tersenyum “bahagia” dengan keadaan Indonesia yang seperti ini, malah ada yang mempersilahkan Indonesia untuk di “jajah” lagi dengan cara “menjilat” tuan-tuan dari negeri asing.

"Yang terpenting pastikan itu bukan (mental)  kita."


ketika matahari mulai beranjak kebarat..
Senin, 11 November 2013, perpustakaan pojok gang kenari, 113.
#Fikri Farhan
 


 
 


 


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar