Rabu, 18 Mei 2016

Solusi Atau Harapan Bagi Penduduk Miskin Untuk Memiliki Hunian Berbasis Syariah



Gambar 1 : Diambil dari medan.tribunnews.com
Bismillahirrahmanirrahim

            Rumah atau tempat tinggal merupakan suatu tempat berlindung bagi kita dari berbagai ancaman, bisa  cuaca buruk, tindak kejahatan, dll. Walaupun kemungkinan terjadinya suatu musibah memang tidak ada yang bisa meramalkan sehingga semua itu adalah kehendak Allah SWT, namun bukan berarti tanpa memiliki rumah. Rumah merupakan suatu kebutuhan yang sepatutnya kita usahakan apalagi saat berkeluarga suatu saat nanti. Tempat tinggal tersebut bisa berupa hunian vertikal maupun hunian horizontal, beberapa contohnya bisa kita lihat saat ini seperti rumah susun, apartemen, atau komplek perumahan. Apakah kondisi yang mendukung seperti letaknya yang strategis, letaknya jauh dari hiruk pikuk, besar/kecil luasnya bahkan bentuknya merupakan hal yang merupakan pilihan pada masing-masing selera masyarakat. Hal yang wajar bagi saya, menjadi cita-cita setiap penduduk di negeri ini untuk memiliki tempat tinggal yang layak dan nyaman. Permasalahan apakah mampu atau tidak mampu, bahkan diakomodir atau tidak oleh pemerintah kembali pada sudut pandang masing-masing.

            Selanjutnya kita akan mengulas secara sederhana berdasarkan data-data sebagai berikut. Proyeksi penduduk menurut pulau, tahun 2030 sebagai berikut:   
 
Dengan total proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2030 sebesar 296.405.100 ribu penduduk, sehingga pembangunan di bidang properti khususnya tempat tinggal dapat menjadi topik menarik di negeri ini. Coba anda bayangkan seberapa luas tanah yang dibutuhkan untuk dijadikan pemukiman penduduk sebanyak itu. Kita lanjutkan pada data jumlah penduduk miskin provinsi (ribu jiwa) pada tahun 2013-2015 diambil secara total:
 
Setelah kita lihat proyeksi penduduk, sekarang kita melihat data terkait jumlah penduduk miskin di Indonesia, dari data tersebut terlihat penurunan dari tahun 2013 – 2014 pada semester 2 sebesar 826.150 jiwa sedangkan tahun 2014 – 2015 pada semester 2 terjadi kenaikan sebesar 785.790 jiwa. Dan jika kita rinci lebih dalam berdasarkan kota dan perdesaan didapatkan hasil : (2015) – semester I,  jumlah penduduk miskin di perkotaan sebesar 10.652.640 jiwa dan perdesaan sebesar 17.940.150 jiwa. Sedangkan semester II, perkotaan sebesar 10.619.860 jiwa dan perdesaan sebesar 17.893.710 jiwa. Perhitungan dari total penduduk Indonesia tahun 2015 sekitar 255.461.700 jiwa sehingga didapatkan hasil sekitar 11,13% dari total penduduk Indonesia adalah penduduk miskin. Dari data tersebut kita dapat bertanya-tanya, apakah 11,13% penduduk tersebut sudah memiliki tempat tinggal? Bisa sudah namun bisa juga belum, jika sebagian atau seluruhnya belum mampu lantas apakah dengan begitu mereka tidak berhak memiliki tempat tinggal? Sebelum lanjut kepada persoalan kenyamanan, bentuk/luas rumah, bisa jadi ada pemikiran “uang saja tidak ada untuk membelinya, sudah bicara kepada bentuk/luas rumah, dll”. Kembali sebagai manusia apakah salah jika seorang manusia memiliki mimpi dan keinginan untuk memiliki tempat tinggal? Agar keluarganya bisa nyaman, terbebas dari teriknya siang hari, atau bahkan dinginnya malam hari. Data lainnya terkait Rasio Gini pada bulan Maret 2015 sebesar 0,41 artinya masih dalam kategori baik karena jika 1 maka ketimpangan sempurna namun perlu diingat selama masa reformasi ini sejak 2010 rasio gini terus meningkat, sebelumnya rasio gini di Indonesia berkisar 0,35 sehingga dapat diartikan 1% terkaya menguasai 41% asset nasional.

         Setelah kita melihat data terkait, kita telah mendapatkan gambaran bahwa masih banyak diantara kita yang masih membutuhkan namun dalam konteks ini cakupannya pada sektor properti bagi penduduk miskin. Sebelumnya arti miskin di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan tidak berharta, serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Pandangan Islam sangat jelas, tidak membenarkan adanya diantara kita sebagai makhluk Allah SWT dalam keadaan yang angkuh, bersifat acuh tak acuh terhadap sesama. Tercermin di dalam QS. Al-Hadid : 7 


7. berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

[1456] Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. karena itu tidaklah boleh kikir dan boros. Jadi, sangatlah jelas pandangan Islam terkait pemerataan atas distribusi pendapatan artinya bagi yang memiliki kelebihan harta dapat melakukan sharing terhadap yang kekurangan harta. Kembali pada subtansi di awal, bagaimana jika kaitannya dengan tempat tinggal? Mari kita uraikan bersama. Pertama, aktivitas tersebut bisa kita bagi menjadi dua yakni melalui personal secara individu dan secara kelompok (pemerintah). Kedua, terkait penjelasan zakat, infaq, shadaqah dan wakaf serta identifikasi transaksi yang tidak boleh dilakukan. Ketiga, pembahasan terkait implementasinya di Indonesia. Semua bahasan tersebut tentu tidak dapat dijadikan sebagai rujukan secara empiris namun harapannya sebagai cita-cita bagi penulis agar terwujudnya pemenuhan atas tempat tinggal bagi penduduk miskin di Indonesia.

        Pertama, skema dasar dari pelaksanaannya ada pada proses pendanaan atau darimana dana itu berasal, aspek yang dibutuhkan tidak hanya sebatas ketersediaan dana saja melainkan kehalalan dan tentu tidak melanggar apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Pada aktivitas I melalui personal secara individu maksudnya adalah terjadinya transfering harta dari pihak yang memiliki kelebihan harta kepada pihak yang kekurangan (miskin). Bagaimana caranya? Melalui Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf. Dalam mekanismenya dapat diilustrasikan sebagai berikut : (Zakat) misalkan - pihak A (kaya) dan pihak B (miskin), pihak A telah melakukan zakat atau telah memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik pribadi kepada pihak B. Asumsinya adalah walaupun dana zakat tersebut diberikan kepada suatu lembaga amil zakat namun pada akhirnya akumulasi dari dana tersebut dapat dialokasikan kepada sektor riil (tempat tinggal). (Infaq) dan (Shadaqah) misalkan - pihak A memberikan rumah dengan ikhlas kepada Pihak B, - pihak A membantu pendanaan (penuh/tidak penuh) dengan ikhlas dalam pembangunan rumah pihak B, - pihak A memberikan bantuan berupa tenaga, material bangunan, sketsa rumah dengan ikhlas kepada pihak B. (Wakaf) misalkan – pihak A mewakafkan hartanya kepada lembaga wakaf yang dikemudian hari dapat dimanfaatkan oleh pihak B (sektor produktif). Aktivitas II melalui kelompok (pemerintah) maksudnya adalah pengelolaan dana dari kumpulan pihak A kepada kumpulan pihak B secara kelompok oleh organisasi baik pemerintah maupun sektor non pemerintahan (organisasi masyarakat, organisasi agama, dll). Bagaimana caranya? Melalui ZISWaf (pemberian), pembiayaan, pinjaman, subsidi. Dalam mekanismenya dapat diilustrasikan sebagai berikut : (ZISWaf) terkait zakat sesuai dengan tema Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) periode 2015-2020 adalah “Kebangkitan Zakat” disinilah poin penting yang dapat menjadi bagian utama dalam pembangunan yakni dari zakat untuk Indonesia yang lebih baik. Dalam lamannya disebutkan poin utama ada pada potensi dan pertumbuhan perhimpunan zakat, infaq, dan shadaqah oleh lembaga-lembaga amil zakat di Indonesia. Potensi zakat di Indonesia disebutkan pada tahun 2015 lebih dari Rp280 Triliun, sedangkan dana yang berhasil dihimpun dari zakat, infaq dan shadaqah sekitar Rp4 Triliun (< 1,4% dari potensinya). Selanjutnya adalah pertumbuhan perhimpunan zakat, infaq, dan shadaqah oleh lembaga-lembaga amil zakat pada tahun 2015 mencapai 23% alhasil melampaui pertumbuhan ekonomi kala itu 4,79% (jauh melampaui rerata pertumbuhan ekonomi).  Dalam laman BAZNAS menyebutkan ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan hal tersebut di antaranya:
 
Penjelasan :
  • Meningkatnya kesadaran umat dalam menyalurkan zakat, infaq, dan shadaqah kepada lembaga-lembaga amil zakat pemerintah maupun yang diakui oleh pemerintah.
  • Meningkatnya empatai terhadap sesame, terbukti pada tahun 2004-2005 saat bencana alam Tsunami melanda Aceh, tahun 2007 Gempa melanda Yogyakarta perhimpunan dana zakat,infaq, dan shadaqah mendekati 100%. 
  • Pelaporan yang semakin baik oleh lembaga-lembaga amil zakat pemerintah maupun yang diakui oleh pemerintah. 
  • Pertumbuhan kelas menengah yang tergolong pesat di antara negara-negara ASEAN.


      Dalam praktiknya misalkan - lembaga amil zakat menghimpun dana zakat, infaq, dan shdaqah dari beberapa pihak A dan menyalurkannya kepada 8 asnaf (golongan) sebagai pihak B. Jika pihak B tidak produktif maka diberikan berupa santunan pokok dan jika pihak B produktif baik intelektualitas agama non agama, non intelektualitas (skill) maka diberikan dalam bentuk berjangka panjang seperti bantuan modal usaha, beasiswa, dan fasilitas usaha (lapangan kerja) untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilannya sehingga diharapkan pihak B dapat memiliki penghasilan sehingga dari penghasilan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk membeli/membangun rumah. Karena pokok pembahasnnya pada sektor riil (tempat tinggal) dana zakat maupun infaq dan shdaqah yang terhimpun oleh lembaga amil zakat dapat disalurkan dalam bentuk pembangunan sarana dan prasaranan yang dibutuhkan oleh kumpulan pihak B seperti pembangunan Rumah Susun (Rusun), komplek perumahan standar tipe 24, atau bahkan apartemen bersubsidi sehingga bagi penduduk miskin yang sama sekali belum memiliki rumah atau sarana prasaranan yang memadai untuk keperluan MCK dapat terselesaikan. (Wakaf) terkait wakaf menurut istilah syara’, berhenti memiliki atau menahan harta milik pribadi untuk diserahkan kepada pihak lain untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan umum dan semata-mata karena Allah SWT.  
 



       Dalam praktiknya misalkan -  dari aset-aset wakaf yang sudah terkumpul dapat dimaksimalkan kedalam sektor sosial melalui pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan yang diharapkan dapat mendorong SDM lebih berkualitas sehingga dapat bekerja dan memiliki penghasilan, selain itu pemanfaatan aset wakaf untuk sektor bisnis dengan pembuatan ruko-ruko, atau tempat berusaha bagi pihak B dan ini dapat saling melengkapi antara dana zakat, infaq, dan shadaqah sebagai modal usaha dan ruko-ruko sebagai tempat untuk usaha. Sinergi antara keduanya apabila dilaksanakan dengan manajemen yang baik tentu akan memperkuat perekonomian dan meminimalisir kemiskinan di Indonesia. Ditambah saat ini tersedianya wakaf dalam bentuk uang, berkaca pada negara tetangga kita yakni Singapura telah berhasil memproduktifkan aset wakaf kedalam sektor riil seperti ruko-ruko, perumahan, apartemen, dan perkantoran dimana hasilnya dpat digunakan untuk membiayai masjid, madrasah, bisa untuk beasiswa, dll. Dapat disimpulkan hasil dari itu semua harapannya dapat mendorong dan meningkatkan taraf hidup yang lebih baik sehingga dapat memiliki tempat tinggal yang layak dan nyaman seperti pada skema berikut ini.
 
Terkait pembahasan kedua, dan ketiga akan dibahas pada tulisan berikutnya...


(Eka Natha Permana)

 

0 komentar:

Posting Komentar