Tampilkan postingan dengan label Gallery. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gallery. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Juli 2013

Cerita di Kolam Pemancingan

Hasil jepretan tangan Dimas
Hasil jepretan tangan Dimas. Suasana kolam di pagi hari
Mentari pagi masih memantulkan sinarnya dari permukaan air kolam yang tenang. Angin sejuk menyapa mesra dedaunan nan rindang. Minggu pagi (30/06) pukul 08.30 kami disambut mesra oleh ikan-ikan yang siap kami pancingi. Seorang teman, Fikri Farhan sedang bersenang hati atas bertambahnya usia dan tempo lalu sebelum hari ini mengajak kami, teman-temannya untuk berbahagia dengan memancing ikan di bilangan komplek Babarsari, Yogyakarta. Kami yang semuanya mahasiswa dengan kantong tipis seakan menangkap secerca cahaya kebahagiaan, karena ini akhir bulan, kami iyakan ajakan itu dengan wajah sumringah. Musaddad, Rofi, Dimas, Kurniawan dan saya memegang stik pancing satu per satu dengan umpan cacing merah mulai melemparkannya ke kolam-kolam yang telah menanti.
Strike!” ikan nila berukuran sedang termegap-megap ketika menyambar umpanku. Sekilas kudengar tawa mereka ketika aku mendapat ikan berukuran sedang. “masih SD itu ikannya,” “baru pulang sekolah itu ikannya langsung kamu pancing,” itu celotehan mesra mereka untuk memanasiku. Sebagai pembuka, ikan yang kudapat not bad. Lumayan.
Pose sehabis mendapat ikan.
Pose sehabis mendapat ikan
Cerita berlanjut, ikan demi ikan terus menyambar pancingan kami semua. Ada yang berukuran besar, sedang dan ada juga yang naas hampir seukurannya jempol kaki—untuk yang seukuran ini kami putuskan untuk dilepaskan saja.
Kesabaran yang tinggi memang dibutuhkan dalam memancing. Fikri, yang sedari tadi menghina dan mengecam siapa saja yang memancing di kolam sebelah—karena dangkal dan ikannya terlihat sangat banyak— mulai meluap kesabarannya. “Siapa yang mancing di kolam ini—kolam dangkal dengan penuh ikan, percuma saja ia datang untuk memancing, ga’ ada feel-nya.
Tak lama berselang. Ter-amini juga do’aku, Fikri kehabisan kesabaran, ia frustasi dan mulai mengunjungi kolam dangkal penuh ikan itu. “Hahahaha,” kami semua terbahak-bahak dan mulai mengulangi kata-kata yang tadi ia nyatakan sendiri.
Kurniawan, sang pakar ikan, memang mengerti tentang seluk beluk perikanan—karena ia memiliki usaha perkolaman. Ia sering menjadi solusi kami—apa lagi aku— jika kail pancing kami sulit dilepaskan dari mulut ikan. “Gimana nih cara lepasinnya? Nyangkut di gigi ikannya, Kurniawan!” begitulah kurang lebih tanda-tanda untuk menghadirkannya jika membutuhkan pertolongan sang pakar ikan.
Markipot, markipot—mari kita poto, poto dulu ikannya,” Ujar Dimas. Memang tugasnya kali ini hanya sebagai juru poto. Dimas berkilah tak mau mancing, “nanti ikannya habis ku pancingi semua,” tuturnya untuk mendamaikan suasana ketika kami ajak untuk memancing, ia lebih memilih sebagai tukang poto keliling kolam saja.
Ikannya gede, tapi gimana cara lepasinnya?” Tanya Musaddad suatu ketika. Ia memang handal dan kerap mendapat ikan jumbo—monster fish kalau dalam istilah perpancingannya— tetapi satu yang menjadi kelemahannya, ia sedikit kesulitan dan merasa geli untuk melepaskan kail dari mulut si ikan. “Ada giginya,” ia berkilah. Ikan-ikan besar yang kami kumpulkan sebagian besar dari usaha Musaddad. “Baca sholawat,” ujarnya ketika kami bertannya kenapa ia sering dapat ikan besar.
Rofi, ustad kita yang satu ini kedatangannya sedikti terlambat di kolam pemancingan. Barangkali jadwalnya padat menjelang Ramadhan. Kedatangannya serta merta menambah kemeriahan kami kala itu, dengan kaos orange Barcelona andalannya, langsung saja ia sergap tongkat pancing dan berkata, “Ok, kalian mau ikan yang sebesar apa?” tambahnya sembari melemparkan pancingan ke tengah kolam—lebih tepatnya ditepi kolam, karena tali pancingnya pendek.
Sabar menanti...
Sabar menanti…
***
Akhirnya, angka semesta di langit Indonesia menunjukkan angka 11. Artinya, sudah tiba saat santap siang. Berbarengan dengan itu, kemeriahan ini turut diramaikan dengan kedatangan Jeng Vita dan Jeng Fitri. Keduanya memang agak terlambat—entah disengaja atau tidak, hambuh.
Sebelum bersantap ria, kami satu per satu mendo’akan sang empu acara, Fikri. “Semoga diusianya yang kesekian ini, menfaatnya ditambahkan, ilmunya dimuliakan dan sukses duni akhirat,” tuturku dengan hikmat sebagai penyumbang do’a pertama. “Dan tak lupa, harapannya kalau bisa seirng-sering setiap bulan makan-makan seperti ini,” tambahku. “Hahahaha,” pecah gelak tawa kami setelah mendengar kata-kataku yang terakhir. Do’a demi do’a terucap tulus teruntuk saudara kami Fikri Farhan. Do’a kami sebagai sahabat dalam kehidupan ini semoga engkau diberkahi oleh Sang Maha Pemberi Berkah.
Suasana sebelum santap ria...
Suasana sebelum santap ria…
Markipot,” tutur Dimas yang sedari tadi akrab dengan kamera pinjaman itu, ia poto kami sebelum menyantap ikan. Ikan-ikan segar itu telah menanti untuk dilahap. Satu orang satu ikan, bahkan ada yang dua. “Wah,porsi kuli,” ujar Dimas sembari menunjuk ke piringku. “Lah, kalo ini porsi apa?” balasku untuk piring Musaddad. “Kuli ‘ala kuli,” kuli di atas kuli, tuturku untuk menambah kemesraan persahabatan ini.
***
Perut terasa nikmat setelah berucap salam dengan mahluk bernama kenyang. Rekor pelahap ikan terbanyak kali ini adalah Dimas—yang tadi menghina porsiku sebagai porsi kuli. “Sudah 2 hari ga makan nasi, aku khususkan untuk hari ini,” imbuhnya untuk menambah gelak tawa kami.
Sebelum pulang kami berpoto lagi untuk terakhir kali di kolam pemancingan itu. “Markipot!” lagi kata Dimas. Akhirnya ucapan do’a dan rasa terimakasih kami haturkan satu per satu teruntuk sahabat kami Fikri Farhan. Semoga engkau sukses dunia akhirat kawan. Aamiin.
Foto di penghujung acara...
Poto di penghujung acara… tukang potonya bung Ku


Jumat, 26 April 2013

Masih Adakah Riba dalam Perbankan Syari'ah



(Oleh: Kurniawan Syahputra, Koordinator Divisi Kewirausahaan) 
A.                Pengertian Riba
Dalam dunia saat ini, sepertinya hidup kita tidak akan terlepas dari yang namanya ekonomi konvensional. Walaupun Negara kita mayoritas muslim, sistem ekonomi kita masih menggunakan sistem ekonomi konvensional yang identik dengan riba. Hal ini pun tidak bisa kita hindari dalam hidup kita. Hidup dalam sistem ekonomi yang bersistem riba.Untuk itu, kita sebagai umat muslim selayaknya sadar akan sistem tersebut. Memang, merubah sistem ekonomi di dalam diri kita sedikit susah.Tetapi apabila kita bersungguh – sungguh untuk menciptakan sistem ekonomi yang berbasis syari’ah. Butuh keberanian, kekuatan, dan kecerdikan dalam merubah sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi syari’ah.
Pengertian riba itu sendiri menurut bahasa yaitu membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Abduh berpandapat bahwa yang dimaksud riba adalah penambahan – penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya ( uangnya ), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang ditentukan. Sangan banyak kerugian yang disebabkan dengan adanya riba. Riba membuat orang malas untuk berusaha. Karena apabila riba sudah mendarah daging kepada seseorang tersebut, ia akan memilih usaha ternak uang. Karena ternak uang tidak memiliki usaha yang begitu keras untuk menjadi kaya. Misalnya saja apabila dia memiliki uang Rp 1.000.000, ia akan memilih uangnya untuk disimpan di bank dari pada di investasikan untuk membuat usaha. Karena dengan disimpan di bank, ia akan menerima bunga 2% dalam setiap bulannya. Dalam hal ini, islam mengharamkan dalam perbuatannya. Karena ia membuat dirinya bermalas – malasan dan tidak mau berusaha.

Berbenah diri Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Umat



(Oleh: Zulhazzi Siregar, Staf Divisi Kajian IESC FE UII)

            Berbenah diri merupakan suatu hal yang baik dilakukan dalam Islam. Dalam artian yaitu hijrah dari hal yang buruk kepada hal yang baik, dari yang baik menuju hal yang lebih baik lagi. Sedangkan kemandirian merupakan kaidah penting dalam ekonomi islam. Artinya umat islam itu harus memiliki berbagai pengalaman, potensi/ qualitas serta sarana yang memungkinkannya mampu untuk beroperasi sendiri dan tanpa membutuhkan tenaga orang non islam guna untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan baik itu berbentuk material maupun non material.

            Sebagai ummat islam tidak hanya dituntut untuk paham tentang bidang agama islam saja, tapi dibidang lainnya sangatlah dibutuhkan, tekhnologi, ilmu alam, politik, ekonomi dan ekonomi islam dan lain sebagainya. Tentu tujuan dari semua harapan ini adalah untuk menjadikan ummat islam  mandiri secara finansial tanpa harus bergantung terhadap ummat lainnya.

Jumat, 18 Januari 2013

SET dalam gambar

 SET 2012 yang diadakan oleh FoSSEI regional Yogyakarta, memberikan banyak kesan bagi anggota IESC..

Gambar di samping : suasana sebelum senam pagi.. tampak ceria semua..
Tiga tokoh IESC yg berpose (pura-pura jadi pembicara)hehe
Natiq, Makruf, Purma
Eko, Makruf, Fikri, Purma
Fikri memimpin doa diakhir acara kelihatannya sangat khusyu'...he



Sebelum pulang foto dulu bersama koordinator regional  FoSSEI Yogyakarta..

Senin, 12 November 2012

Suasana Pelantikan Pengurus baru 2012-2013...