Sudah beberapa hari belakangan ini, nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS mengalami pelemahan. Bahkan dikatakan bahwa pelemahan
rupiah saat ini adalah yang terburuk sepanjang 17 tahun terakhir atau sejak
krisis moneter 1998 lalu. Bahkan saat ini tercatat bahwa rupiah telah menembus
angka 14.695 per dolar AS. Pelemahan mata uang negara ASEAN yang terparah
terjadi pada Ringgit Malaysia, yaitu MYR 4.31098 untuk US$ 1.Sedangkan mata
uang lainnya seperti Dollar Singapura mengalami pelemahan hingga SGD 1.423940,
Dollar Brunei Darussalam sebesar BND 1.423940, Baht Thailand sebesar THB
35.980464 dan Peso Philipina sebesar PHP 46.938594.[1]
Pelemahan nilai rupiah tentu tidak lepas dari berbagai faktor, baik internal
maupun eksternal. Salah satu penyebabnya yaitu berawal dari krisis ekonomi yang
melanda AS 2008 silam dimana bank sentral AS, The Fed mengeluarkan kebijakan quantitative easing atau pelonggaran
kuantitatif dengan memompa pasokan uang ke sejumlah negara berkembang. Caranya
adalah dengan membeli obligasi, baik itu obligasi berupa surat utang AS maupun
obligasi KPR atau kredit perumahan. Ketika ekonomi AS dirasa mulai membaik, AS
mulai mengurangi pembelian obligasi secara bertahap atau biasa disebut dengan tapering off. Setiap perubahan yang
dilakukan oleh The Fed, walaupun sedikit saja, pasti akan mengundang respon
pasar di AS maupun di seluruh dunia, termasuk juga Indonesia. Akibat adanya tapering off ini,para investor asing yang ramai-ramai
berinvestasi di Indonesia mulai menarik diri. Faktor lainnya adalah akibat
devaluasi yuan (mata uang China). Padahal China merupakan salah satu negara
tujuan ekspor untuk minyak sawit terbesar, yaitu sebesar US$ 318,517,373 selama
Januari-Maret 2015.[2]
Dengan adanya devaluasi yuan inilah Indonesia mengalami kerugian karena
diperkirakan dapat menurunkan daya saing barang-barang impor terhadap produk
domestik China sendiri. Ketergantungan Indonesia akan impor, termasuk impor
bahan baku juga menjadi penyebab pelemahan rupiah. Hal ini disebabkan bahan
baku impor tersebut pembayarannya menggunakan mata uang dolar sehingga dengan
kurs dolar yang meningkat, harganya pun menjadi lebih mahal. Keadaan seperti
itulah yang menyebabkan beban perusahaan meningkat dan tidak jarang berujung
pada PHK oleh beberapa perusahaan.
Lalu bagaimanakah solusi untuk mengatasi
permasalahan ini? Ada beberapa solusi yang diajukan oleh beberapa peserta
FOCUS#2 yang lalu. Namun disini kami telah merangkum inti dari solusi-solusi
tersebut, antara lain : melakukan bilateral
swap arrangement atau transaksi dengan mata uang sendiri untuk meningkatkan
ekspor sektor riil, adanya gebrakan pasar dengan harga yang sudah disubsidi
untuk menaikkan konsumsi, meningkatkan suku bunga acuan, mengurangi anggaran
secara bertahap, melakukan pengendalian pasar dan memberlakukan one currency misalnya untuk
negara-negara ASEAN, seperti halnya mata uang euro yang digunakan oleh
negara-negara Uni Eropa. Sementara
dari sudut pandang syariah pertama dapat dilakukan dengan penggunaan dinar dan
dirham karena nilainya yang stabil, namun untuk penerapannya tentu masih banyak
yang harus dipertimbangkan. Kedua, regulasi dana zakat dan wakaf untuk
sektor-sektor yang produktif seperti pasar, ruko-ruko, dan lain sebagainya.
Ketiga, menerapkan sistem bagi hasil (profit-loss
sharing) di berbagai sektor industri dengan tujuan Kemashlahatan Umat.
[1] www.seputarforex.com. Diupdate pada 6 September 2015
[2] www.kemendag.go.id.
Main Comodities.
Oleh: Eka Nata Permana
(Forum Islamic Economics Dicussion #2 18 September 2015)