Senin, 14 Maret 2016

Belajar Dari Dua Prinsip Yang Tidak Boleh Dilanggar ‘An Taradin Minkum’ dan ‘La Tazhlimuna wa la Tuzhlamu’




Dua Prinsip Yang Tidak Boleh Dilanggar
              Kita semua tentu sudah mengenal terdapat dua kaidah hukum dalam syariah. Pertama ibadah, kaidah hukum yang berlaku adalah semua tidak boleh dilakukan atau dilarang kecuali ada dalilnya baik itu Al-Qur’an maupun Hadist. Sedangkan dalam hal muamalah, semua boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya. Sehingga Islam sangat tegas dalam membedakan mana yang boleh dan mana yang dilarang. Nah, bagaimana kaitannya dengan keuangan? Apa dalam praktiknya seperti itu? Tentu menjadi pertanyaan besar dibenak kita, hal yang justru biasa kita lakukan jangan-jangan atau kita anggap lazim malah berdampak buruk bagi kita, misalnya kita sebagai pedagang terbiasa menganggap transparansi harga merupakan hal tabu akibat khawatir dagangan kita tidak laku, atau bahkan khawatir kompetitor kita mengetahui rahasia keuntungan kita. Jawab saya pribadi adalah salah besar. Mengapa? Mari kita kupas bersama mengapa salah besar.
            Nah, kita anulir faktor-faktor yang dapat mempengaruhi transaksi tersebut dilarang. Pertama haram karena zatnya, kedua haram karena selain zatnya, ketiga tidak sah karena akad atau kontraknya. Jika kita telaah bersama sudah barang tentu haram karena zatnya dilarang seperti kita menjual segala macam terkait Babi, Anjing, Minuman Keras, dll. Intinya basis bahannya, kemudian untuk haram karena selain zatnya seperti apa yang diutarakan Pak Adiwarman A. Karim dalam bukunya yang berjudul Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, dibuku tersebut membagi atas dua prinsip yang dilanggar yakni prinsip suka sama suka dan prinsip jangan mendzalimi maupun terdzalimi atau dalam istilah arabnya ‘Antaradin Minkum’ dan ‘La Tazhlimuna wa la Tuzhlamun’. dan yang ketiga tidak sah akad atau kontraknya semisal tidak terpenuhi rukun ataupun syaratnya, dsb.
            Fokus kita sekarang pada dua prinsip tersebut, coba saudara bayangkan jika dua prinsip tersebut dapat dipraktikkan oleh setiap manusia di belahan bumi ini atau khususnya pada Indonesia saja. Transaksi yang adil bukan lagi sebagai wacana belaka namun suatu tindakan nyata yang dapat membawa ketrentaman hati antara penjual maupun pembeli. Prinsip suka sama suka (Antaradin Minkum) dalam bertransaksi jika kita analogikan semisal A sebagai pembeli dan B sebagai penjual, dimana B menjual barang kepada A dengan informasi yang lengkap dan jelas mulai dari kuantitas barangnya, kualitasnya, waktu penyerahannya, dan harganya tentu akan terjalin komunikasi yang baik antara keduanya atau dalam bahasa lain tidak terjadi informasi yang asimetris. Gaulnya ‘No Tipu-Tipu’ tentu saudara sering membaca atau mendengar banyak pedagang / penjual sering menuliskan tulisan tersebut bahkan ada yang menuliskan ‘Kualitas 100%’ dll, sebagai seorang muslim tentu akan menjadi masalah apabila tulisan tersebut tidak sesuai dengan kenyataannya. Allah SWT telah berfirman dalam  QS. Al-Baqarah ayat 188 yang artinya “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil”   artinya apa saudaraku, Islam mengajarkan kita jangan kalian mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak sesuai syariat. Semisal saudara sebagai penjual, saudara melakukan penipuan baik kuantitasnya, kualitasnya, dll, naudzubillah. Dalam istilah Fiqh dikenal dengan sebutan Tadlis atau penipuan. Bagi saya pribadi inilah yang disebut dengan bertransaksi adil.
            Kedua adalah prinsip ‘La Tazhlamuna wa la Tuzhlamun’ yang artinya jangan mendzalimi maupun jangan terdzalimi. Maksudnya adalah dalam bertransaksi janganlah melanggar hal tersebut. Asumsi sederhanya, sebagai penjual janganlah berbuat dzalim terhadap pembeli begitupun dengan pembeli jangan sampai terdzalimi. Sebagai penjual memiliki kewajiban untuk untuk menghindari MaGhRIBI (Mysir, Gharar, Riba, Rysiwah, Bai’ Najasy, dan Ikhtikar). Tentu dalam ruang lingkup yang lebih luas tidak hanya penjual, namun Lembaga Keuangan Bank-Non Bank juga harus menghidari hal ini. Judi(Gambilng), Ketidakpastian, Tambahan, Suap, Rekayasa Pasar seperti Rekayasa Demand / Supply). Bagi saya hal tersebut merupakan suatu keharusan, tidak bisa ditawar-tawar lagi apalagi sebagai seorang muslim. Dzalim dapat menimbulkan kegundahan dalam hati, rejeki yang didapatpun tidak berkah atau bahkan jikalau saja konsumen mengetahuinya tentu rentan atau dapat dipastikan akan menimbulkan konflik. Allah SWT berfirman dalam  QS, Asy-Syura ayat 8 yang artinya “Dan orang-orang yang dzalim tidak ada bagi mereka seorang pelindung dan tidak pula seorang penolong”.  Nah, dengan berbuat dzalim dalam transaksi khususnya berarti kita telah dzalim terhadap Allah, mengapa? Ya, karena kita telah melanggar segala perintah dan larangannya. Kedua kita telah dzalim terhadap sesame, mengapa? Ya, karena jelas kita telah merugikan konsumen kita dari beragam hal baik materi, maupun kepercayaan mereka (konsumen) terhadap kita. Ketiga kita telah dzalim terhadap diri kita sendiri mengapa? Ya, karena kita tahu bahwa hal itu salah namun mengapa tetap kita lakukan yang jelas membuat rejeki yang kita dapat tidak halal. Keempat, bisa jadi kita dzalim terhadap keadaan atau lingkungan mengapa? Ya, semisal kita sebagai pedagang kita melakukan Ikhtikar/Bai’ Najasy tentu akan berdampak salah satunya pada kenaikkan atau penurunan harga-harga komoditi tertentu misalkan saja beras, akibat kita timbun dan mengakibatkan stoknya menipis di pasaran tentu harga beras akan melambung (tidak sesuai standar harga pasar) bisa jadi kita telah berbuat dzalim terhadap lingkungan, bahkan dzalim juga terhadap sesama baik konsumen, produsen, dan distributor naudzubillah. Sebagai penutup mudah-mudahan kita semua bisa belajar dari dua prinsip tersebut bahwa di dalam ekonomi Islam sangat konsen terhadap transaksi-transaksi yang bersifat adil, keadilan harus tercipta baik produsen, konsumen maupun distributor. 
“Berhati-hati olehmu sekalian dari sikap aniaya. Karena sesungguhnya laku dzalim itu mengakibatkan gelapnya kelak pada hari kiamat” Hadits riwayat Imam Muslim dari Jabri r.a.


Eka Natha Permana (Koor Kementerian PPWI)

2 komentar: