Bismillahirrahmanirrahiim
Yahudi
adalah umat yang diistimewakan oleh Allah dengan segala kelebihannya seperti
kepintaran, namun mereka (umat yahudi) selalu mengingkari setiap nikmat yang
diberikan oleh Allah, para rasulullah untuk mereka selalu di ingkari bahkan
dibunuh. Ini menyebabkan ajaran-ajaran para utusan Allah untuk mereka hanya
seperti angin lalu, sehingga wajar pesan-pesan para utusan Allah untuk umat
Yahudi seakan sirna dan yang terlihat adalah perbuatan-perbuatan buruk mereka
salah satunya adalah tidak mengindahkan larangan memakan riba (jika memandang
dalam konteks keuangan islam) riba yang dipraktikkan oleh umat yahudi salah
satunya adalah riba jahiliyah/riba nasyi’ah yang teraplikasi pada sistem bunga.
Contoh yang bisa kita saksikan dari Film “The King of Solomon” yang
menceritakan kisah Nabi Sulaiman as, dimana Nabi Sulaiman as termasuk
rasulullah yang diutus untuk umat yahudi generasi keempat dari umat Yahudi
dizaman Nabi Musa as, bisa kita saksikan dari film tersebut walaupun produksi film
non muslim namun diakui bahwa banyak umat yahudi pada saat itu meminjamkan uang
kepada kerabat ataupun tetangganya dengan membebankan tambahan dari pokok
pinjaman dipelunasannya yang sangat memberatkan peminjam, sehingga peminjam
akhirnya selalu menunda pelunasan karena beban tambahan yang tidak sanggup
dibayarkan dan akhirnya pokok pinjaman serta tam bahan yang harus dibayarkan
semakin membengkak, digambarkan pula pada film “The King of Solomon” dimana
orang-orang yahudi yang berbuat demikian seperti orang yang kemasukan setan. Padahal
mereka sudah diberi peringatan melalui kitab Taurat yang sebelumnya disampaikan
oleh Nabi Musa as.
Pada zaman
rasulullah Muhammad SAW sekitar 1400 tahun yang lalu, riba berhasil beliau
jelaskan secara detail sehingga tidak ada lagi kebingungan bagi siapa saja yang
mempelajari dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan Hadits Shahihnya. Perintah
larangan riba bukan lagi untuk umat yahudi, nasrani maupun muslim namun berlaku
untuk semua umat manusia. Allah berfirman dalam surah AlBaqarah: 275-279 yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba. Maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu, dan jika kamu bertaubat. Maka bagimu
pokok hartamu dan kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. Ini yang
mengharuskan semua umat untuk menghapus system riba dari kehidupan sehari-hari,
bukan tanpa alasan bagi Allah melarang riba, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Mengetahui sudah terlebih dahulu mengetahui bahwa riba akan membawa dampak
buruk dalam perekonomian, jika diteliti dan dipahami lebih mendalam diketahui bahwa
riba sewaktu-waktu dapat membahayakan perekonomian umat manusia, salah satu
faktor terjadinya inflasi harga pasar adalah karena faktor riba yang terwujud
dari sistem bunga.
Dewasa ini
telah berkembang lembaga-lembaga keuangan islam di Dunia, bahkan di Indonesia
pun banyak bank konvensional yang membuka anak perusahaan yaitu Unit Usaha Syariah
(UUS) seperti BCA Syariah, BRI Syariah dll maupun Bank Umum Syariah (BUS)
seperti Bank Syariah Mandiri, namun pekembangan bank syariah di Indonesia tidak
disertai perkembangan asset perbankan syariah yang masih jauh dari asset perbankan
konvensional. Kenapa bisa begitu? karena masih banyak masyarakat Indonesia
tetap loyal kepada lembaga keuangan konvensional. Hal ini terjadi disebabkan
masih banyak masyarakat berpendapat bahwa lembaga keuangan islam (LKI) tidak
jauh lebih baik dari lembaga keuangan konvensional (LKK). Memang tidak
dipungkiri banyak riset yang menyatakan bahwa pada operasional LKI masih banyak
kesamaan bahkan ada pula LKI yang lebih parah daripada LKK, Kesamaan sistem
pada operasional di LKI tidak terlepas dari SDM yang ada. Menurut Survei yang
ada menyatakan bahwa SDM yang murni memahami ekonomi islam dan perbankan di
Indonesia yang berkompeten masih sedikit, dan kebanyakan SDM LKI diambil dari
SDM LKK.
Kurangnya
pemahaman di masyarakat tentang perbedaan bunga, bagi hasil dan margin menjadi
salah satu faktor yang membuat lembaga keuangan islam sulit menyaingi lembaga
keuangan konvensional, terlebih lagi pola pikir masyarakat yang telah mengenal
lebih dahulu sistem bunga, sehingga menganggap bunga sama dengan bagi hasil
maupun marjin. Masyarakat juga berpendapat bahwa di LKI seperti Bank Syariah
terlalu banyak akad sehingga membingungkan. Padahal akad sangatlah penting, dengan akad maka jelas
tujuannya sehingga tidak ada yang terdzolimi. Dari permasalahan inilah penulis
ingin menjelaskan secara detail mengenai perbedaan bunga, bagi hasil dan
margin, sehingga pembaca dapat memahami lebih mendalam perbedaan bunga, bagi
hasil dan margin. Harapannya siapa saja yang membaca artikel ini minimal dapat
tercerahkan.
Lalu, apa
sih yang dimaksud dengan bunga? Menurut LPPI (1980:22), bunga adalah imbalan
atas penggunaan sejumlah uang. Sedangkan menurut Bank Indonesia, bunga adalah
imbalan yang dibayarkan oleh peminjam atas dana yang diterima, bunga dinyatakan
dalam persen. Bunga sebagai imbalan biasanya ditentukan secara sepihak oleh
kreditur baik harian, bulanan ataupun tahunan dari suatu pemanfaatan sejumlah
penarikan dana dari suatu transaksi pinjam-meminjam uang. Besaran bunga yang
dibebankan misalnya 2% perbulan atau 9% per tahun dari pokok hutang.
Dulu
ketika krisis moneter ditahun 1998, antara lain bank umum menderita kerugian
yang sedemikian besar sebab harga beli/kulakan dari pemilik dana berupa biaya
dana jauh lebih tinggi dibanding harga jual kepada nasabah peminjam/kredit
mereka. Kerugian yang dialami bank seperti ini dinamakan negative spread. Namun negative
spread secara teoritis tidak berlaku di LKI, hal ini dikarenakan dalam
keuangan islam fungsi uang diposisikan sebagai alat tukar, satuan hitung serta
sebagai modal, bukan sebagai barang dagangan atau komoditas. Mengapa tidak
diposisikan sebagai barang dagangan sebagaimana yang terjadi di keuangan
konvensional? Pada dasarnya uang secara intrinsik tidak mempunyai kegunaan
sebagai barang seperti rumah, otomotif, dll. Hal ini bisa dibuktikan, misalnya
ketika uang ditarik oleh pihak berwenang (di Indonesia adalah Bank Indonesia),
maka dengan serta merta uang tersebut tidak berlaku sebagai alat pembayaraan yang
sah setelah masa edarnya usai. Disampng itu nilai intrinsik uang relatif kecil
daripada nilai nominalnya. Semakin tinggi nilai nominal selembar uang kertas
maka perbandingan dengan nilai intrinsiknya akan semakin mengecil. Beda
misalnya dengan barang sungguhan seperti mobil, beras, biji-bijian, maka nilai intrinsiknya sebagai barang akan
tetap, yang berubah adalah harga jualnya, dimana harga jual adalah sebuah
penghargaan seseorang terhadap bahan-bahan dimaksud.
Esensi
bunga antara lain karena diawali dengan adanya penarikan uang/dana oleh
debitur, baik diterima tunai maupun tidak tunai dari suatu transaksi
pinjam-meminjam uang dengan kreditur yang disebut Pokok Hutang atau Hutang
Pokok. Besaran bunga terkait langsung dengan jangka pelunasan hutang (pokok
maupun sisanya). Jelasnya, missal pokok hutang sebesar Rp. 1 Juta dengan bunga
missal 1% per bulan, maka perhitungan atau besarnya bunga akan berbeda bila
jangka waktunya juga beda. Misal meminjam 1 bulan dengan 2 bulan atau lebih,
maka pengembalian pokok hutangnya akan tetap, namun besarnya bunga sebagai
imbalan mengikuti lamanya jangka waktu pelunasan sisa pinjaman/hutang, Dengan
kata lain, bunga diambil/dibebankan berkali-kali per satuan waktu
(harian,mingguan,bulanan atau tahunan) dalam suatu periode pinjam-meminjam
uang, bahkan dalam perhitungan bunga majemuk, tidak hanya pokok hutang yang
dapat berbunga, bungapun juga ikut berbunga. Mengerikan bukan?
Adapun
macam-macam bunga seperti bunga tunggal, bunga majemuk, bunga flat, bunga
efektif dan bunga anuitas. Biasanya dalam LKK menggunakan 3 jenis bunga antara
lain bunga flat, efektif dan anuitas. Meskipun ketiga jenis bunga tersebut
semua namanya hanya terkait tingkta suku bunga, namun sejatinya dalam
penggunaan sehari-harinya, rumus ketiganya tidak hanya sekedar untuk menghitung
besarnya bunga kredit yang harus dibayar oleh debitur, dimana beda jenis bunga
maka beda pula cara menghitungnya dan beda pula hasil perhitungannya. Singkat
kata, ketiga jenis bunga tersebut digunakan untuk mengitung besaran setiap
angsuran kredit, yaitu meliputi baik besarnya angsuran pokok maupun angsuran
bunganya.
Dalam
perhitungan jenis bunga flat, setiap tahun atau bulan debitur akan dibebankan
bunga dalam sejumlah yang sama besar, dan mengabaikan seluruh pembayaran
cicilan pokok pada periode sebelumnya. Maka meskipun ada cicilan pokok, bunga
flat akan tetap dihitung dari pokok awal atau pokok sebelum dikurangi angsuran.
Selanjutnya, perhitungan jenis bunga efektif yaitu perhitungan bunga
berdasarkan saldo (sisa) hutang di akhir bulan yang bersangkutan dengan
memperhitungkan adanya angsuran bulanan sebelumnya. Maka besarnya bunga akan
semakin menurun. Dan bunga anuitas yaitu serangkaian penerimaan maupun
pembayaran dalam sejumlah uang yang sama selama satu periode tertentu. Pada
dasarnya perhitungan bunga secara anuitas hamper sama dengan perhitungan bunga
efektif, namun dalam angsuran yang diterapkan pada anuitas, jumlah cicilan
bulan ke 1 hingga terakhir sama besarnya. Konsekuensi yang harus diterima yaitu
pembayaran cicilan bunga yang di awal periode besar, seiring berjalannya waktu,
jumlahnya semakin menurun seimbang dengan penurunan pokok piutang LKK.
Sebaliknya, oleh sebab jumlah angsuran setiap bulannya sama besar selama satu
periode pinjaman dan dikurangi bunga yang jumlahnya kian menurun, maka sisanya
adalah cicilan pokok yang kian lama semakin membesar jumlahnya.
Bagi hasil
di Indonesia telah diterapkan sudah sejak dahulu kala semenjak Islam masuk di
Indonesia yang pada saat itu Indonesia masih bernama Nusantara yang teraplikasi
dengan system koperasi, bagi hasil juga telah diterapkan dalam budaya Nusantara
dibidang pertanian. Esensi bagi hasil sebenarnya sangat sederhana, yakni yang
dibagi itu hasil usaha suatu bisnis/transaksi. Sebagai contohnya, misal seorang
petani dititipi seekor sapi untuk digemukkan seharga Rp. 2 juta yang akan
dijual untuk lebaran haji. Andaikan saat dijual sapi tersebut laku seharga Rp.
3 juta, maka yang dibagi adalah hasilnya, yakni sebesar Rp 1 juta. Selanjutnya
masing-masing pihak mendapatkan keuntungan sesuai porsi yang disepakati. Porsi
bagi hasil yang di bagikan dinamakan nisbah. Nisbah bisa 50%:50%, 60%:40%,
boleh berapapun sesuai kesepakatan.
Marjin sederhananya adalah laba atau
keuntungan yang diperoleh dari jual beli barang/jasa yang mana pengambilan
keuntungan dilakukan sekali dalam satu kali transaksi. Misalnya, si A membeli
motor dengan harga Rp 20 juta, sedangkan biaya produksi oleh produsen adalah
sebesar Rp. 17 juta. Maka selisih antara Rp 20 juta – Rp 17 juta = 3 juta
inilah yang dinamakan marjin. Marjin diambil dari suatu jual beli barang/jasa
bersifat tetap. Berbeda dengan bunga yang mana diambil berulang-ulang
tergantung lamanya angsuran secara tidak tetap.
Maka
sekarang sudah jelas bunga berbeda dengan bagi hasil dan bagi hasilpun berbeda
dengan marjin. Sebagai makhluk yang berakal hendaknya kita dapat berpikir
secara jernih, jangan sampai harta yang kita dapatkan mengandung harta orang
lain yang diambil dengan cara yang bathil. Dengan begitu memahami konsep
ekonomi islam terlebih mengenal lebih mendalam tentang fiqh muammalah sangatlah
penting agar kita terhindar dari tindakan dzolim terhadap orang lain. Inilah
salah satu yang dimaksud sebagai ibadah muammalah.
Setelah
memahami perbedaan bunga, bagi hasil dan marjin. Penulis berharap kepada
pembaca yang telah paham agar menyampaikan kembali kepada orang-orang
disekitar. Sehingga pemahaman bahwa bunga sama dengan bagi hasil maupun marjin
pada Lembaga Keuangan bisa dihilangkan dan masyarakat bisa memilih LKI sebagai
partner muammalahnya, walaupun pada kenyataannya di LKI belum sepenuhnya
syar’i. Namun paling tidak kita sudah memulai dari diri sendiri dan orang-orang
disekitar.
(Brian
Oktavian dan M. Teguh Pengabdian. – Kementerian PPWI)