Dua Prinsip Yang Tidak Boleh Dilanggar |
Kita semua tentu sudah mengenal terdapat dua kaidah hukum
dalam syariah. Pertama ibadah, kaidah hukum yang berlaku adalah semua tidak
boleh dilakukan atau dilarang kecuali ada dalilnya baik itu Al-Qur’an maupun
Hadist. Sedangkan dalam hal muamalah, semua boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang melarangnya. Sehingga Islam sangat tegas dalam membedakan mana yang boleh
dan mana yang dilarang. Nah, bagaimana kaitannya dengan keuangan? Apa dalam
praktiknya seperti itu? Tentu menjadi pertanyaan besar dibenak kita, hal yang
justru biasa kita lakukan jangan-jangan atau kita anggap lazim malah berdampak
buruk bagi kita, misalnya kita sebagai pedagang terbiasa menganggap
transparansi harga merupakan hal tabu akibat khawatir dagangan kita tidak laku,
atau bahkan khawatir kompetitor kita mengetahui rahasia keuntungan kita. Jawab
saya pribadi adalah salah besar. Mengapa? Mari kita kupas bersama mengapa salah
besar.
Nah, kita anulir faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
transaksi tersebut dilarang. Pertama haram karena zatnya, kedua haram karena
selain zatnya, ketiga tidak sah karena akad atau kontraknya. Jika kita telaah
bersama sudah barang tentu haram karena zatnya dilarang seperti kita menjual
segala macam terkait Babi, Anjing, Minuman Keras, dll. Intinya basis bahannya,
kemudian untuk haram karena selain zatnya seperti apa yang diutarakan Pak
Adiwarman A. Karim dalam bukunya yang berjudul Bank Islam Analisis Fiqh dan
Keuangan, dibuku tersebut membagi atas dua prinsip yang dilanggar yakni prinsip
suka sama suka dan prinsip jangan mendzalimi maupun terdzalimi atau dalam
istilah arabnya ‘Antaradin Minkum’ dan ‘La Tazhlimuna wa la Tuzhlamun’. dan
yang ketiga tidak sah akad atau kontraknya semisal tidak terpenuhi rukun
ataupun syaratnya, dsb.
Fokus kita sekarang pada dua prinsip tersebut, coba
saudara bayangkan jika dua prinsip tersebut dapat dipraktikkan oleh setiap
manusia di belahan bumi ini atau khususnya pada Indonesia saja. Transaksi yang
adil bukan lagi sebagai wacana belaka namun suatu tindakan nyata yang dapat
membawa ketrentaman hati antara penjual maupun pembeli. Prinsip suka sama suka
(Antaradin Minkum) dalam bertransaksi jika kita analogikan semisal A sebagai
pembeli dan B sebagai penjual, dimana B menjual barang kepada A dengan
informasi yang lengkap dan jelas mulai dari kuantitas barangnya, kualitasnya,
waktu penyerahannya, dan harganya tentu akan terjalin komunikasi yang baik
antara keduanya atau dalam bahasa lain tidak terjadi informasi yang asimetris.
Gaulnya ‘No Tipu-Tipu’ tentu saudara sering membaca atau mendengar banyak
pedagang / penjual sering menuliskan tulisan tersebut bahkan ada yang
menuliskan ‘Kualitas 100%’ dll, sebagai seorang muslim tentu akan menjadi
masalah apabila tulisan tersebut tidak sesuai dengan kenyataannya. Allah SWT
telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah
ayat 188 yang artinya “Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil” artinya apa saudaraku, Islam mengajarkan kita
jangan kalian mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak sesuai syariat.
Semisal saudara sebagai penjual, saudara melakukan penipuan baik kuantitasnya,
kualitasnya, dll, naudzubillah. Dalam
istilah Fiqh dikenal dengan sebutan Tadlis
atau penipuan. Bagi saya pribadi inilah yang disebut dengan bertransaksi adil.
Kedua adalah prinsip ‘La
Tazhlamuna wa la Tuzhlamun’ yang artinya jangan mendzalimi maupun jangan
terdzalimi. Maksudnya adalah dalam bertransaksi janganlah melanggar hal
tersebut. Asumsi sederhanya, sebagai penjual janganlah berbuat dzalim terhadap
pembeli begitupun dengan pembeli jangan sampai terdzalimi. Sebagai penjual
memiliki kewajiban untuk untuk menghindari MaGhRIBI (Mysir, Gharar, Riba, Rysiwah, Bai’ Najasy, dan Ikhtikar). Tentu
dalam ruang lingkup yang lebih luas tidak hanya penjual, namun Lembaga Keuangan
Bank-Non Bank juga harus menghidari hal ini. Judi(Gambilng), Ketidakpastian,
Tambahan, Suap, Rekayasa Pasar seperti Rekayasa Demand / Supply). Bagi saya hal tersebut merupakan suatu keharusan,
tidak bisa ditawar-tawar lagi apalagi sebagai seorang muslim. Dzalim dapat
menimbulkan kegundahan dalam hati, rejeki yang didapatpun tidak berkah atau
bahkan jikalau saja konsumen mengetahuinya tentu rentan atau dapat dipastikan
akan menimbulkan konflik. Allah SWT berfirman dalam QS, Asy-Syura ayat 8 yang artinya “Dan orang-orang yang dzalim tidak ada bagi
mereka seorang pelindung dan tidak pula seorang penolong”. Nah, dengan berbuat dzalim dalam transaksi
khususnya berarti kita telah dzalim terhadap Allah, mengapa? Ya, karena kita
telah melanggar segala perintah dan larangannya. Kedua kita telah dzalim
terhadap sesame, mengapa? Ya, karena jelas kita telah merugikan konsumen kita
dari beragam hal baik materi, maupun kepercayaan mereka (konsumen) terhadap
kita. Ketiga kita telah dzalim terhadap diri kita sendiri mengapa? Ya, karena
kita tahu bahwa hal itu salah namun mengapa tetap kita lakukan yang jelas
membuat rejeki yang kita dapat tidak halal. Keempat, bisa jadi kita dzalim
terhadap keadaan atau lingkungan mengapa? Ya, semisal kita sebagai pedagang
kita melakukan Ikhtikar/Bai’ Najasy
tentu akan berdampak salah satunya pada kenaikkan atau penurunan harga-harga
komoditi tertentu misalkan saja beras, akibat kita timbun dan mengakibatkan
stoknya menipis di pasaran tentu harga beras akan melambung (tidak sesuai
standar harga pasar) bisa jadi kita telah berbuat dzalim terhadap lingkungan,
bahkan dzalim juga terhadap sesama baik konsumen, produsen, dan distributor naudzubillah. Sebagai penutup
mudah-mudahan kita semua bisa belajar dari dua prinsip tersebut bahwa di dalam
ekonomi Islam sangat konsen terhadap transaksi-transaksi yang bersifat adil,
keadilan harus tercipta baik produsen, konsumen maupun distributor.
“Berhati-hati olehmu sekalian dari sikap aniaya.
Karena sesungguhnya laku dzalim itu mengakibatkan gelapnya kelak pada hari
kiamat” Hadits riwayat
Imam Muslim dari Jabri r.a.
Eka Natha Permana (Koor Kementerian PPWI)