Hasil
jepretan tangan Dimas. Suasana kolam di pagi hari
Mentari pagi masih memantulkan sinarnya
dari permukaan air kolam yang tenang. Angin sejuk menyapa mesra dedaunan nan
rindang. Minggu pagi (30/06) pukul 08.30 kami disambut mesra oleh ikan-ikan
yang siap kami pancingi. Seorang teman, Fikri Farhan sedang bersenang hati atas
bertambahnya usia dan tempo lalu sebelum hari ini mengajak kami, teman-temannya
untuk berbahagia dengan memancing ikan di bilangan komplek Babarsari,
Yogyakarta. Kami yang semuanya mahasiswa dengan kantong tipis seakan menangkap
secerca cahaya kebahagiaan, karena ini akhir bulan, kami iyakan ajakan itu
dengan wajah sumringah. Musaddad, Rofi, Dimas, Kurniawan dan saya memegang stik
pancing satu per satu dengan umpan cacing merah mulai melemparkannya ke
kolam-kolam yang telah menanti.
“Strike!” ikan nila berukuran sedang termegap-megap
ketika menyambar umpanku. Sekilas kudengar tawa mereka ketika aku mendapat ikan
berukuran sedang. “masih SD itu ikannya,” “baru pulang sekolah itu ikannya langsung kamu pancing,”
itu celotehan mesra mereka untuk memanasiku. Sebagai pembuka, ikan yang kudapat not bad. Lumayan.
Pose
sehabis mendapat ikan
Cerita berlanjut, ikan demi ikan terus
menyambar pancingan kami semua. Ada yang berukuran besar, sedang dan ada juga
yang naas hampir seukurannya jempol kaki—untuk yang seukuran ini kami putuskan
untuk dilepaskan saja.
Kesabaran
yang tinggi memang dibutuhkan dalam memancing. Fikri, yang sedari tadi menghina
dan mengecam siapa saja yang memancing di kolam sebelah—karena dangkal dan
ikannya terlihat sangat banyak— mulai meluap kesabarannya. “Siapa yang mancing di kolam ini—kolam dangkal dengan penuh ikan,
percuma saja ia datang untuk memancing, ga’ ada feel-nya.”
Tak
lama berselang. Ter-amini juga do’aku, Fikri kehabisan kesabaran, ia frustasi
dan mulai mengunjungi kolam dangkal penuh ikan itu. “Hahahaha,”
kami semua terbahak-bahak dan mulai mengulangi kata-kata yang tadi ia nyatakan
sendiri.
Kurniawan,
sang pakar ikan, memang mengerti tentang seluk beluk perikanan—karena ia
memiliki usaha perkolaman. Ia sering menjadi solusi kami—apa lagi aku— jika
kail pancing kami sulit dilepaskan dari mulut ikan. “Gimana nih
cara lepasinnya? Nyangkut di gigi ikannya, Kurniawan!” begitulah
kurang lebih tanda-tanda untuk menghadirkannya jika membutuhkan pertolongan
sang pakar ikan.
“Markipot, markipot—mari kita poto, poto dulu ikannya,”
Ujar Dimas. Memang tugasnya kali ini hanya sebagai juru poto. Dimas berkilah
tak mau mancing, “nanti ikannya habis ku pancingi semua,”
tuturnya untuk mendamaikan suasana ketika kami ajak untuk memancing, ia lebih
memilih sebagai tukang poto keliling kolam saja.
“Ikannya gede, tapi gimana cara lepasinnya?” Tanya
Musaddad suatu ketika. Ia memang handal dan kerap mendapat ikan jumbo—monster
fish kalau dalam istilah perpancingannya— tetapi satu yang menjadi
kelemahannya, ia sedikit kesulitan dan merasa geli untuk melepaskan kail dari
mulut si ikan. “Ada giginya,” ia berkilah.
Ikan-ikan besar yang kami kumpulkan sebagian besar dari usaha Musaddad. “Baca sholawat,” ujarnya ketika kami
bertannya kenapa ia sering dapat ikan besar.
Rofi,
ustad kita yang satu ini kedatangannya sedikti terlambat di kolam pemancingan.
Barangkali jadwalnya padat menjelang Ramadhan. Kedatangannya serta merta
menambah kemeriahan kami kala itu, dengan kaos orange Barcelona andalannya,
langsung saja ia sergap tongkat pancing dan berkata, “Ok, kalian mau ikan yang sebesar apa?” tambahnya
sembari melemparkan pancingan ke tengah kolam—lebih tepatnya ditepi kolam,
karena tali pancingnya pendek.
Sabar
menanti…
***
Akhirnya,
angka semesta di langit Indonesia menunjukkan angka 11. Artinya, sudah tiba
saat santap siang. Berbarengan dengan itu, kemeriahan ini turut diramaikan
dengan kedatangan Jeng Vita dan Jeng Fitri. Keduanya memang agak
terlambat—entah disengaja atau tidak, hambuh.
Sebelum
bersantap ria, kami satu per satu mendo’akan sang empu acara, Fikri. “Semoga diusianya yang kesekian ini, menfaatnya ditambahkan,
ilmunya dimuliakan dan sukses duni akhirat,” tuturku dengan hikmat
sebagai penyumbang do’a pertama. “Dan tak lupa, harapannya kalau
bisa seirng-sering setiap bulan makan-makan seperti ini,” tambahku.
“Hahahaha,” pecah gelak tawa kami setelah mendengar
kata-kataku yang terakhir. Do’a demi do’a terucap tulus teruntuk saudara kami
Fikri Farhan. Do’a kami sebagai sahabat dalam kehidupan ini semoga engkau
diberkahi oleh Sang Maha Pemberi Berkah.
Suasana
sebelum santap ria…
“Markipot,” tutur Dimas yang sedari tadi akrab dengan
kamera pinjaman itu, ia poto kami sebelum menyantap ikan. Ikan-ikan segar itu
telah menanti untuk dilahap. Satu orang satu ikan, bahkan ada yang dua. “Wah,porsi kuli,” ujar Dimas sembari menunjuk ke
piringku. “Lah, kalo ini porsi apa?” balasku untuk piring
Musaddad. “Kuli ‘ala kuli,” kuli di atas kuli, tuturku untuk
menambah kemesraan persahabatan ini.
***
Perut
terasa nikmat setelah berucap salam dengan mahluk bernama kenyang. Rekor
pelahap ikan terbanyak kali ini adalah Dimas—yang tadi menghina porsiku sebagai
porsi kuli. “Sudah 2 hari ga makan nasi, aku khususkan untuk hari ini,”
imbuhnya untuk menambah gelak tawa kami.
Sebelum
pulang kami berpoto lagi untuk terakhir kali di kolam pemancingan itu. “Markipot!” lagi kata Dimas. Akhirnya ucapan do’a dan
rasa terimakasih kami haturkan satu per satu teruntuk sahabat kami Fikri
Farhan. Semoga engkau sukses dunia akhirat kawan. Aamiin.
Poto di penghujung acara… tukang potonya
bung Ku