Rabu, 06 April 2016

MENGENAL PERBEDAAN ANTARA BUNGA, BAGI HASIL dan MARJIN

 
Bismillahirrahmanirrahiim
 
Larangan riba telah ada sejak Zaman Rasulullah yaitu rasul-rasul Allah sebelum Muhammad saw, bisa kita lihat dari pernyataan surah An-Nisaa ayat 160-161, Allah berfirman: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya dan karena mereka memakan harta benda orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”. Jika kita lihat pada ayat tersebut jelas bahwa umat yang pertama kali dilarang memakan riba adalah umat yahudi yang disampaikan melalui kitab Taurat, Injil dan baru kemudian Al Qur’an yang mana riba telah diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin dan seluruh umat manusia dimuka bumi (termasuk Yahudi, Nasrani, Penyembah Dewa, dll)
Yahudi adalah umat yang diistimewakan oleh Allah dengan segala kelebihannya seperti kepintaran, namun mereka (umat yahudi) selalu mengingkari setiap nikmat yang diberikan oleh Allah, para rasulullah untuk mereka selalu di ingkari bahkan dibunuh. Ini menyebabkan ajaran-ajaran para utusan Allah untuk mereka hanya seperti angin lalu, sehingga wajar pesan-pesan para utusan Allah untuk umat Yahudi seakan sirna dan yang terlihat adalah perbuatan-perbuatan buruk mereka salah satunya adalah tidak mengindahkan larangan memakan riba (jika memandang dalam konteks keuangan islam) riba yang dipraktikkan oleh umat yahudi salah satunya adalah riba jahiliyah/riba nasyi’ah yang teraplikasi pada sistem bunga. Contoh yang bisa kita saksikan dari Film “The King of Solomon” yang menceritakan kisah Nabi Sulaiman as, dimana Nabi Sulaiman as termasuk rasulullah yang diutus untuk umat yahudi generasi keempat dari umat Yahudi dizaman Nabi Musa as, bisa kita saksikan dari film tersebut walaupun produksi film non muslim namun diakui bahwa banyak umat yahudi pada saat itu meminjamkan uang kepada kerabat ataupun tetangganya dengan membebankan tambahan dari pokok pinjaman dipelunasannya yang sangat memberatkan peminjam, sehingga peminjam akhirnya selalu menunda pelunasan karena beban tambahan yang tidak sanggup dibayarkan dan akhirnya pokok pinjaman serta tam bahan yang harus dibayarkan semakin membengkak, digambarkan pula pada film “The King of Solomon” dimana orang-orang yahudi yang berbuat demikian seperti orang yang kemasukan setan. Padahal mereka sudah diberi peringatan melalui kitab Taurat yang sebelumnya disampaikan oleh Nabi Musa as.
Pada zaman rasulullah Muhammad SAW sekitar 1400 tahun yang lalu, riba berhasil beliau jelaskan secara detail sehingga tidak ada lagi kebingungan bagi siapa saja yang mempelajari dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan Hadits Shahihnya. Perintah larangan riba bukan lagi untuk umat yahudi, nasrani maupun muslim namun berlaku untuk semua umat manusia. Allah berfirman dalam surah AlBaqarah: 275-279 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba. Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu, dan jika kamu bertaubat. Maka bagimu pokok hartamu dan kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. Ini yang mengharuskan semua umat untuk menghapus system riba dari kehidupan sehari-hari, bukan tanpa alasan bagi Allah melarang riba, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Mengetahui sudah terlebih dahulu mengetahui bahwa riba akan membawa dampak buruk dalam perekonomian, jika diteliti dan dipahami lebih mendalam diketahui bahwa riba sewaktu-waktu dapat membahayakan perekonomian umat manusia, salah satu faktor terjadinya inflasi harga pasar adalah karena faktor riba yang terwujud dari sistem bunga.
Dewasa ini telah berkembang lembaga-lembaga keuangan islam di Dunia, bahkan di Indonesia pun banyak bank konvensional yang membuka anak perusahaan yaitu Unit Usaha Syariah (UUS) seperti BCA Syariah, BRI Syariah dll maupun Bank Umum Syariah (BUS) seperti Bank Syariah Mandiri, namun pekembangan bank syariah di Indonesia tidak disertai perkembangan asset perbankan syariah yang masih jauh dari asset perbankan konvensional. Kenapa bisa begitu? karena masih banyak masyarakat Indonesia tetap loyal kepada lembaga keuangan konvensional. Hal ini terjadi disebabkan masih banyak masyarakat berpendapat bahwa lembaga keuangan islam (LKI) tidak jauh lebih baik dari lembaga keuangan konvensional (LKK). Memang tidak dipungkiri banyak riset yang menyatakan bahwa pada operasional LKI masih banyak kesamaan bahkan ada pula LKI yang lebih parah daripada LKK, Kesamaan sistem pada operasional di LKI tidak terlepas dari SDM yang ada. Menurut Survei yang ada menyatakan bahwa SDM yang murni memahami ekonomi islam dan perbankan di Indonesia yang berkompeten masih sedikit, dan kebanyakan SDM LKI diambil dari SDM LKK.
Kurangnya pemahaman di masyarakat tentang perbedaan bunga, bagi hasil dan margin menjadi salah satu faktor yang membuat lembaga keuangan islam sulit menyaingi lembaga keuangan konvensional, terlebih lagi pola pikir masyarakat yang telah mengenal lebih dahulu sistem bunga, sehingga menganggap bunga sama dengan bagi hasil maupun marjin. Masyarakat juga berpendapat bahwa di LKI seperti Bank Syariah terlalu banyak akad sehingga membingungkan. Padahal akad  sangatlah penting, dengan akad maka jelas tujuannya sehingga tidak ada yang terdzolimi. Dari permasalahan inilah penulis ingin menjelaskan secara detail mengenai perbedaan bunga, bagi hasil dan margin, sehingga pembaca dapat memahami lebih mendalam perbedaan bunga, bagi hasil dan margin. Harapannya siapa saja yang membaca artikel ini minimal dapat tercerahkan.
Lalu, apa sih yang dimaksud dengan bunga? Menurut LPPI (1980:22), bunga adalah imbalan atas penggunaan sejumlah uang. Sedangkan menurut Bank Indonesia, bunga adalah imbalan yang dibayarkan oleh peminjam atas dana yang diterima, bunga dinyatakan dalam persen. Bunga sebagai imbalan biasanya ditentukan secara sepihak oleh kreditur baik harian, bulanan ataupun tahunan dari suatu pemanfaatan sejumlah penarikan dana dari suatu transaksi pinjam-meminjam uang. Besaran bunga yang dibebankan misalnya 2% perbulan atau 9% per tahun dari pokok hutang.
Dulu ketika krisis moneter ditahun 1998, antara lain bank umum menderita kerugian yang sedemikian besar sebab harga beli/kulakan dari pemilik dana berupa biaya dana jauh lebih tinggi dibanding harga jual kepada nasabah peminjam/kredit mereka. Kerugian yang dialami bank seperti ini dinamakan negative spread. Namun negative spread secara teoritis tidak berlaku di LKI, hal ini dikarenakan dalam keuangan islam fungsi uang diposisikan sebagai alat tukar, satuan hitung serta sebagai modal, bukan sebagai barang dagangan atau komoditas. Mengapa tidak diposisikan sebagai barang dagangan sebagaimana yang terjadi di keuangan konvensional? Pada dasarnya uang secara intrinsik tidak mempunyai kegunaan sebagai barang seperti rumah, otomotif, dll. Hal ini bisa dibuktikan, misalnya ketika uang ditarik oleh pihak berwenang (di Indonesia adalah Bank Indonesia), maka dengan serta merta uang tersebut tidak berlaku sebagai alat pembayaraan yang sah setelah masa edarnya usai. Disampng itu nilai intrinsik uang relatif kecil daripada nilai nominalnya. Semakin tinggi nilai nominal selembar uang kertas maka perbandingan dengan nilai intrinsiknya akan semakin mengecil. Beda misalnya dengan barang sungguhan seperti mobil, beras, biji-bijian,  maka nilai intrinsiknya sebagai barang akan tetap, yang berubah adalah harga jualnya, dimana harga jual adalah sebuah penghargaan seseorang terhadap bahan-bahan dimaksud.
Esensi bunga antara lain karena diawali dengan adanya penarikan uang/dana oleh debitur, baik diterima tunai maupun tidak tunai dari suatu transaksi pinjam-meminjam uang dengan kreditur yang disebut Pokok Hutang atau Hutang Pokok. Besaran bunga terkait langsung dengan jangka pelunasan hutang (pokok maupun sisanya). Jelasnya, missal pokok hutang sebesar Rp. 1 Juta dengan bunga missal 1% per bulan, maka perhitungan atau besarnya bunga akan berbeda bila jangka waktunya juga beda. Misal meminjam 1 bulan dengan 2 bulan atau lebih, maka pengembalian pokok hutangnya akan tetap, namun besarnya bunga sebagai imbalan mengikuti lamanya jangka waktu pelunasan sisa pinjaman/hutang, Dengan kata lain, bunga diambil/dibebankan berkali-kali per satuan waktu (harian,mingguan,bulanan atau tahunan) dalam suatu periode pinjam-meminjam uang, bahkan dalam perhitungan bunga majemuk, tidak hanya pokok hutang yang dapat berbunga, bungapun juga ikut berbunga. Mengerikan bukan?
Adapun macam-macam bunga seperti bunga tunggal, bunga majemuk, bunga flat, bunga efektif dan bunga anuitas. Biasanya dalam LKK menggunakan 3 jenis bunga antara lain bunga flat, efektif dan anuitas. Meskipun ketiga jenis bunga tersebut semua namanya hanya terkait tingkta suku bunga, namun sejatinya dalam penggunaan sehari-harinya, rumus ketiganya tidak hanya sekedar untuk menghitung besarnya bunga kredit yang harus dibayar oleh debitur, dimana beda jenis bunga maka beda pula cara menghitungnya dan beda pula hasil perhitungannya. Singkat kata, ketiga jenis bunga tersebut digunakan untuk mengitung besaran setiap angsuran kredit, yaitu meliputi baik besarnya angsuran pokok maupun angsuran bunganya.
Dalam perhitungan jenis bunga flat, setiap tahun atau bulan debitur akan dibebankan bunga dalam sejumlah yang sama besar, dan mengabaikan seluruh pembayaran cicilan pokok pada periode sebelumnya. Maka meskipun ada cicilan pokok, bunga flat akan tetap dihitung dari pokok awal atau pokok sebelum dikurangi angsuran. Selanjutnya, perhitungan jenis bunga efektif yaitu perhitungan bunga berdasarkan saldo (sisa) hutang di akhir bulan yang bersangkutan dengan memperhitungkan adanya angsuran bulanan sebelumnya. Maka besarnya bunga akan semakin menurun. Dan bunga anuitas yaitu serangkaian penerimaan maupun pembayaran dalam sejumlah uang yang sama selama satu periode tertentu. Pada dasarnya perhitungan bunga secara anuitas hamper sama dengan perhitungan bunga efektif, namun dalam angsuran yang diterapkan pada anuitas, jumlah cicilan bulan ke 1 hingga terakhir sama besarnya. Konsekuensi yang harus diterima yaitu pembayaran cicilan bunga yang di awal periode besar, seiring berjalannya waktu, jumlahnya semakin menurun seimbang dengan penurunan pokok piutang LKK. Sebaliknya, oleh sebab jumlah angsuran setiap bulannya sama besar selama satu periode pinjaman dan dikurangi bunga yang jumlahnya kian menurun, maka sisanya adalah cicilan pokok yang kian lama semakin membesar jumlahnya.
Bagi hasil di Indonesia telah diterapkan sudah sejak dahulu kala semenjak Islam masuk di Indonesia yang pada saat itu Indonesia masih bernama Nusantara yang teraplikasi dengan system koperasi, bagi hasil juga telah diterapkan dalam budaya Nusantara dibidang pertanian. Esensi bagi hasil sebenarnya sangat sederhana, yakni yang dibagi itu hasil usaha suatu bisnis/transaksi. Sebagai contohnya, misal seorang petani dititipi seekor sapi untuk digemukkan seharga Rp. 2 juta yang akan dijual untuk lebaran haji. Andaikan saat dijual sapi tersebut laku seharga Rp. 3 juta, maka yang dibagi adalah hasilnya, yakni sebesar Rp 1 juta. Selanjutnya masing-masing pihak mendapatkan keuntungan sesuai porsi yang disepakati. Porsi bagi hasil yang di bagikan dinamakan nisbah. Nisbah bisa 50%:50%, 60%:40%, boleh berapapun sesuai kesepakatan.
  Marjin sederhananya adalah laba atau keuntungan yang diperoleh dari jual beli barang/jasa yang mana pengambilan keuntungan dilakukan sekali dalam satu kali transaksi. Misalnya, si A membeli motor dengan harga Rp 20 juta, sedangkan biaya produksi oleh produsen adalah sebesar Rp. 17 juta. Maka selisih antara Rp 20 juta – Rp 17 juta = 3 juta inilah yang dinamakan marjin. Marjin diambil dari suatu jual beli barang/jasa bersifat tetap. Berbeda dengan bunga yang mana diambil berulang-ulang tergantung lamanya angsuran secara tidak tetap.
Maka sekarang sudah jelas bunga berbeda dengan bagi hasil dan bagi hasilpun berbeda dengan marjin. Sebagai makhluk yang berakal hendaknya kita dapat berpikir secara jernih, jangan sampai harta yang kita dapatkan mengandung harta orang lain yang diambil dengan cara yang bathil. Dengan begitu memahami konsep ekonomi islam terlebih mengenal lebih mendalam tentang fiqh muammalah sangatlah penting agar kita terhindar dari tindakan dzolim terhadap orang lain. Inilah salah satu yang dimaksud sebagai ibadah muammalah.
Setelah memahami perbedaan bunga, bagi hasil dan marjin. Penulis berharap kepada pembaca yang telah paham agar menyampaikan kembali kepada orang-orang disekitar. Sehingga pemahaman bahwa bunga sama dengan bagi hasil maupun marjin pada Lembaga Keuangan bisa dihilangkan dan masyarakat bisa memilih LKI sebagai partner muammalahnya, walaupun pada kenyataannya di LKI belum sepenuhnya syar’i. Namun paling tidak kita sudah memulai dari diri sendiri dan orang-orang disekitar.

(Brian Oktavian dan M. Teguh Pengabdian. – Kementerian PPWI)