Minggu, 14 Juni 2015

e-bulletin edisi ke-3




BULETIN IESC - EDISI III – 14 Juni 2015
Halaman 1
APA ITU HEDGING SYARI’AH?
Heti Nur Isnaini
(Kementerian Penelitian dan Pengembangan Wawasan Intelektual 2014/2015)


Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengesahkan fatwa mengenai lindung nilai atau dikenal dengan hedging syari’ah. Hedging sendiri berfungsi melindungi nilai tukar mata uang rupiah terhadap valuta asing. Dari sudut pandang conventional accounting  hedging dapat dilakukan, namun dalam sudut pandang syari’ah, hedging masih dipertanyakan bahkan tidak boleh karena mengandung unsur estimasi atau dikenal dengan nama gharar (ketidakpastian). Karena pada dasarnya estimasi merujuk pada ketidakpastian.

Sebenarnya apa perbedaan Hedging biasanya dengan Hedging Syari’ah?
Hedging dilakukan apabila sudah melakukan perjanjian antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi  jual beli barang tertentu pada waktu tertentu dengan harga tertentu (sudah disepakati) yang transaksi tersebut dilakukan pada masa mendatang. Dalam konteks transaksi antar negara dengan mempertimbangkan faktor fluktuasi nilai tukar currencies. Di Indonesia, hedging jarang dilakukan di sektor riil, tetapi berlaku di pasar modal. Berbeda dengan luar negeri yang melakukan hedging di sektor riil, misal USA.
Hedging syariah diperbolehkan apabila, diantaranya adalah transaksi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan; hak pelaksanaan atau wakaf dalam mekanisme lindung nilai tidak boleh diperjualbelikan; objek tersebut mengandung risiko signifikan terhadap fluktuasi nilai tukar; risiko tersebut sudah diukur sebelumnya; objek tersebut berupa simpanan dalam mata uang asing, kewajiban dalam mata uang asing untuk biaya perjalanan haji, perjalanan ke luar negeri dalam konteks syariah, kebutuhan pembiayaan pendidikan di luar negeri sesuai dengan prinsip syariah. Biasanya, yang melayani hedging syariah adalah lembaga keuangan syariah.

Apakah hedging syari’ah ada untuk utang? Lalu bagaimana cara kerjanya?
Hedging pada intinya suatu cara transaksi yang bertujuan melindungi nilai. Utang atau transaksi sama aja, intinya sudah memiliki ketetapan harga yang sesuai. Misal hutang 10 juta dalam nilai dollar ketika menginjak pada kurs Rp 13.000, ditetapkan harga tertentu yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak pada jatuh tempo yang telah ditentukan. Sebenarnya permasalahan utama pada distribusi yang lambat, apalagi biasanya pembeli baru membayar ketika barang sudah sampai.

Apakah Hedging dapat disamakan dengan sistem ijon? Karena dari asal hukum, sebenarnya hedging bisa disamakan sistem ijon à gharar à haram
Sebenarnya hedging lebih memberikan kepastian kepada orang karena intinya pada risk averse. Kalau ijon, tidak ada kepastian. Hedging disamakan dengan ijon merupakan hal yang berbeda jauh. Pada hedging ada kalkulasi perhitungan sebelumnya. Spot dan forward dari data yang ada pergerakannya tidak terlalu jauh. Hedging ini dilakukan kontrak dengan bank yang kita percaya atas barang yang kita beli. Biasanya sebelum melakukan hedging, kita dengan bank melakukan perhitungan yang menguntungkan kedua belah pihak. Untuk masalah siapa yang untung atau rugi, itu masalah pihak-pihak yang melakukan kesepakatan.

Bagaimana transaksi hedging syari’ah terjadi?
Perbankan syariah baru melakukan transaksi hedging apabila telah ditetapkan DSN MUI. Karena ada desakan transaksi dollar, maka muncullah fatwa hedging. Karena fatwa tersebut dikeluarkan MUI, maka diberi label syariah. Hedging bukan produk, tetapi sebuah cara, menggabungkan beberapa produk. Realita yang ada bahwasanya permasalahan menyangkut haji, dulu ada pemindahan dana haji ke bank syariah, maka harus ada perlindungan atas dana tersebut, lalu kemudian muncul hedging syariah. Pola pikir masyarakat 100% harus syariah susah. Hal menuju syari’ah harus melalui proses dari yang tidak sesuai syariah ke yang sesuai syariah agar lebih mudah untuk mengajak berbagai kalangan menuju ekonomi syariah.-*

*) dalam Silaturrahim Berdiskusi IESC FE UII dengan SEF FEB UGM mengenai “Hedging Syari’ah” pada 26 April 2015 di ruang T101 FEB UGM
Halaman 2

ULASAN MENGENAI RIBA
“Akan datang suatu zaman dimana manusia tidak lagi peduli darimana mendapatkan harta,
apakah dari usaha yang halal atau haram” (HR. Bukhari)


Diranah ekonomi yang semakin kompleks ini, manusia semakin sulit membedakan mana harta yang halal dan mana harta yang haram. Pandangan halal dan haram termasuk hal sepele, namun penting dalam menyangkut hidup dalam keberkahan dunia dan akhirat. “Ingatlah bahwa


di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad...” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599). Perlu diketahui pula harta yang kita konsumsi mempengaruhi pada segumpal daging tersebut apabila harta yang didapatkannya itu haram kemudian dikonsumsinya, maka dapat dipastikan bahwa daging tersebut ada unsur kerusakan (karena haram) dan mempengaruhi seluruh tubuh. Apakah Riba termasuk harta haram? Baca secara seksama ulasan mengenai riba itu sendiri.

Gambaran umum riba
Riba merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam. Riba dapat berarti juga pertukaran sesama barang ribawi dengan kadar yang berbeda. Perbedaan itulah yang disebut riba.Misalnya  Andi memberi pinjaman kepada Riki dengan syarat Riki harus mengembalikan uang pokok pinjaman berserta tambahan. Dengan demikian, terjadinya transaksi utang-piutang dikarenakan adanya syarat tambahan, bila Riki tidak bisa memenuhi syarat tersebut maka transaksi tidak jadi. Tambahan pengembalian hutang dari pokok pinjaman itulah yang disebut riba. Memberikan hutang dengan syarat adanya tambahan seperti diatas pada hakekatnya merupakan praktek eksploitasi si kaya kepada si miskin. Ini berarti pihak si miskin bukannya ditolong tetapi justru diperas. Itulah salah satu sebab mengapa Islam mengharamkanya.
Etimologi dan Terminologi Riba
Secara etimologi riba merupakan tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Istilah ini juga digunakan untuk segala bentuk jual beli yang diharamkan (Syarh An Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Fathul Baari). Adapun secara terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba nasi’ah (Ar Ribaa Adraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah). “Maksud tambahan secara khusus, ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at islam, baik diperoleh dengan cara penjualan atau penukaran atau pinjaman yang berkenaan dengan benda riba” (Majalah As Sunnah edisi 3 tahun VII)

Landasan yang melarang riba
Riba itu haram berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Tidak hanya agama islam saja yang menharamkannya, Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun mengharamkannya. Pendapat para filsuf terdahulu pun melarang adanya riba, karena riba termasuk dalam kegiatan mendapatkan harta secara bathil.
Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu” (Safarul Khuruj pasal 22 ayat 25; Fiqhus Sunnah). Masih dalam kitab yang sama disebutkan, “Apabila saudara kalian sedang kesulitan, maka bantulah ia. Janganlah dirimu mengambil keuntungan dan manfaat darinya” (Safarul Khuruj pasal 25 ayat 35; Fiqhus Sunnah).
Dalam Perjanjian Baru disebutkan, “jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar” (Injil Lukas pasal 6 ayat 34-35; Fiqhus Sunnah). Bahkan para ahli agama mereka telah sepakat akan keharaman riba. Pastur Buni mengatakan “Sesungguhnya oran-orang yang melakukan transaksi ribawi tidak memiliki kehormatan di dunia dan mereka tidak layak dikafani ketika mereka meninggal” (Fiqus Sunnah).
 Islam melarang Riba seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 278-279 yang intinya pada “Hai orang-orang beriman, bertawaqalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba...”. dalam Kristen Council of Vienne (tahun 1311) juga menyatakan bahwa yang menganggap riba (bunga) telah murtad seperti dalam kutipan berikut “Barangsiapa menganggap bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa, ia telah murtad”. Masih pada aliran yang sama yaitu Reformis Kristen (tahun 1836) menyatakan “....tidak menjadikan  pemungut bunga sebagai profesi”. Selain itu Yahudi dalam Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 tertulis “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba daripadanya, melainkan engkau harus takut kepada Allahmu....”
Pandangan riba dari para filsuf diantaranya :
·          Aristoteles: Riba mengganggu fungsi uang. Uang bukan untuk menghasilkan uang, melainkan sebagai alat tukar dan pengukur nilai.
·          Plato: Riba menimbulkan perpecahan dan digunakan untuk menghisap orang miskin.
·          Cato: Pencuri didenda dua kali lipat, sedangkan pemakan riba didenda empat kali lipat.
·          Cicero: Dua pekerjaan yang harus dihindari adalah pemungut cukai dan pemberi pinjaman dengan bunga.
(dalam Kitab Sakti Syekh Angga)

Tahapan pelarangan riba
Larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan secara bertahap:
1.     Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba pada zahirnya menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”(QS. Ar Rum : 39).

2.     Tahap kedua,riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.Firman Allah SWT:“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih (QS. An-Nisa: 160-161).

3.     Tahap ketiga, riba itu diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Allah SWTberfirman:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran:130).

4.     Tahap akhir, yaitu ayat riba diturunkan oleh Allah SWT yang dengan jelas sekali mengharamkan sebarang jenis tambahan yang diambil daripada pinjaman. Firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” .(QS. Al Baqarah: 278-279)
Hadist yang berkaitan dengan riba
Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi SAW bersabda, “Riba itu ada 73 tingkatan. Yang paling ringan daripadanya adalah seumpama seseorang menzinai ibunya sendiri.” (H.R. Al-Hakim)
Satu Dirham dari riba yang diambil seseorang, lebih besar dosanya di sisi Allah dari 33 kali berzina dalam agama Islam”. (H.R.Thabrany)




Halaman 3

Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, orang yang membayarnya, juru tulisnya, dan saksi-saksinya.
 Dari Jabir :Rasulullah SAW melaknat  yang menerima riba dan membayarnya, orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya. Kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama”. (H.R.Muslim No 2995, Kitab Al-Musaqat)
Sabda Nabi SAW, “Empat golongan yang tidak dimasukkan Allah ke dalam syurga : 1. Peminum Khamar 2. Pemakan Riba, 3. Pemakan harta anak Yatim, 4.Orang yang durhaka pada ibu-bapak”. (Hadits Al-Hakim)
Sabda Nabi SAW, “Jauhilah kamu tujuh dosa besar yang membinasakan yaitu:
1. Syirik kepada Allah
2. Sihir
3. Membunuh orang yang diharamkan Allah
4. Makan riba
5. Makan harta anak yatim
6. Lari dari medan perang
7. Menuduh orang beriman yang telah kawin melakukan zina”
(Muttafaq ‘Alaih)
Sabda Nabi Muhammad SAW “Pasti akan datang suatu zaman, di mana tak seorang pun yang terbebas dari riba, siapa yang tidak mau memakannya, pasti ia terkena debunya juga.”  (H.R.Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dampak buruk adanya riba
Diantara dampak buruk riba adalah sebagai berikut :
-           Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, yang dalam firman-Nya “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS. An-Nisaa’:161)
-           Pelaku riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berpendapat Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharapkan riba...” (QS. Al-Baqarah: 275)
-           Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan Rosu-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan Rosul-Nya. Allah ta’ala berfirman “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah  dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka joika kamunorang-orang tidak mengerjakan (meninggalkan siksa riba (dari pengambilan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rousl-Nya akan memerangimu. Dan jika kamubertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (Q Al-Baqarah 278-279)

Dosa yang akan didapat dari perbuatan riba
1.     Pelaku Riba/Bunga kekal di Neraka (QS.2:275)
2.     Mudah dipengaruhi Syetan (QS. 7:96)
3.     Riba diperangi Allah dan Rasulnya (QS. 2:279)
4.     Sistem Riba Sumber Petaka (QS.2:275)
5.     Rezekinya tidak berkah (QS.2:276)
6.     Doanya tidak Maqbul (QS.2:186)
7.     Dosanya lebih berat dari menzinai ibu kandungnya sendiri (Hadits Riwayat Hakim dari Ibnu Mas’ud)
8.     Dilaknat Rasulullah SAW(H.R.Ahmad & At-Tarmizi)
9.     Termasuk 7 dosa besar yang dimurkai Allah (H.R.Muttafaq Alaih)
10.   Tidak akan masuk syurga (Pemakan riba, peminum khamar, pemakan harta anak yatim, durhaka kpd ibu-Bapa, Hadits Riwayat Al-Hakim)
Dari pembahasan mengenai riba secara panjang lebar yang dapat diambil bahwa tak seorang pun yang terbebas dari riba, dan sebenarnya uang termasuk barang riba namun dizaman ini sulit untuk melepaskan riba sehingga benar-benar bersih. Yang dapat dilakukan sekarang ini setidaknya menjauhi riba dengan  meminimalisir aktivitas kegiatan yang berhubungan riba. Seperti memberikan pinjaman tanpa harus meminta tambahan lebih dari pinjaman semula.
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Bunga
Bagi Hasil
Penentuan tingkat suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung

Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.

Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.

Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil.


Referensi : Hand Book IESC FE UII 2014/2015; Buletin At-Tauhid edisi 18 tahun 11; kuliah Operasional Pebnakan Syari’ah, Kitab Sakti Syekh Angga


TAHUKAH ANTUM?

Teori akuntansi konvensional yang saat ini beredar disebut-sebut berasal dari Luca Picioli. Ia disebut sebagai bapak Akuntansi. Bukunya diterbitkan tahun 1494, buku ini bukan tentang akuntansi tetapi aritmatika. Terdiri dari 5 bab. Salah satu bab nya tentang double entry system. Benarkah Luca yang menemukan teori akuntansi ini?
Luca bukanlah orang pertama penemu teori double entry pada akuntansi. Puluhan tahun sebelumnya, seorang Muslim bernama Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al-Mazindarani, ulama muslim telah menuliskan karya dibidang akuntansi dengan judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat” ditulis pada 765 H/1363 M

 

 Halaman4




“FENOMENA HEDGING SYARIAH”
Oleh Syaiful Rahman
(Sekertaris II IESC FE UII 2014/2015)


Salah satu bahasan diskusi ekonomi islam yang sedang hangat dibicarakan dikalangan ekonom muslim adalah hedging syariah. Pada kesempatan diskusi ini Islamic Economics Study Club Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (IESC FE UII) mengundang Bapak Asmuni, Mth., M.A beliau salah satu dosen Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII sebagai pembicara. Bapak Asmuni menekuni bidang dalam legal exim dan metodologi islam. Pembahasan oleh bapak Asmuni lebih mengarah pada kacamata fiqh nya.
Fiqh dirumuskan untuk individu, bukan untuk organisasi karena umat Islam diawal tidak pernah berpikir tentang lembaga terutama lembaga keuangan. Fiqh bukan untuk mengatur transaksi-transaksi antar lembaga dengan lembaga maupun antar lembaga dengan individu. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara menerapkan fiqh tersebut pada lembaga. Dengan fiqh dapat mengakomodasi ekonomi kedalam hal-hal yang diperlukan sesuai syari’ah.
Pada sistem perbankan Syariah, kenapa belum bisa berjalan efektif? Karena umat muslimnya yang belum bisa menerapkan prinsip Syariah, baik lending dan funding bank maupun nasabah. Didalam bank Syariah hadiah undian merupakan sesuatu yang haram, maka dari itu di perbankan syari’ah jarang bahkan tidak ditemukannya undian berhadiah. Pada dasarnya tidak ada seorang pun dalam bertransaksi bisa menghindari riba, spekulasi maupun gharar secara total.
Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang memperbolehkan Hedging Syariah dalam Perbankan Syariah dikeluarkan oleh MUI. Hedging sendiri mengandung unsur gharar (ketidakpastian). Setiap fatwa tentang ekonomi Syariah selalu ada respon positif dan negatif. MUI mengeluarkan fatwa karena ada beberapa tujuan dan alasan dengan landasan yang sesuai tuntunan.
Sebuah fatwa, baik fatwa suatu ormas, fatwa pemerintah maupun fatwa individu tidak terlepas dari dua metode (Al-Minhajj), yaitu Minhajjur Raddi dan Minhajjur Kulli/Maqosidi.
1.      Minhajjur Raddi
Yaitu bagaimana cara masa kini dijadikan sama dengan masa lalu atau masa klasik.
Contohnya yaitu Imam Rafii menjadikan landasan diperbolehkannya jual beli melalui email, sms maupun telepon. Yang menghalangi Minhajjur Raddi yaitu para ulama susah membedakan antara Jahalal dengan Gharar. Jahalah (Ketidaktahuan) ada yang diperbolehkan. Contohnya yaitu akad nikah. Jahalah bisa membatalkan suatu akad jika berpotensi ke pengadilan. Selain Gharar dan Jahalal, ada juga Al-Maysir (Spekulasi). Contoh dari Al-Maysir yaitu peramalan atau forcasting. Dalam dunia bisnis, Maysir tidak dapat dihindari. Maysir bisa diminimalkan dengan cara input.

2.      Minhajjur Kulli/Maqosidi
Merupakan metode berdasarkan nilai-nilai universal Syariah. Minhajur Kulli membutuhkan interdisipliner.

Hedging syari’ah itu sendiri diambil dengan metode Minhajjur Kulli/Maqosidi. Dilihat dari nilai-nilai universal syari’ah dengan menghubungkan fiqh dan realita yang ada. Hedging syari’ah biasanya dilakukan oleh oknum pelaku industri, usaha maupun regulator syariah dalam bersaing dalam global. Produk lindung nilai ini mengelola risiko nilai tukar pada musim haji. Dengan adanya hedging syariah, dilindungilah biaya naik haji. MUI sendiri sudah memberikan penjelasan tentang hedging syari’ah dan melakukan kajian komprehensif dengan OJK, serta sudah dituangkan dalam DSN-MUI Nomor: B-204/DSN-MUI/VI/2014 tentang Kesesuaian Syari’ah Term Deposit Valas Syari’ah tanggal 20 Juni 2014.*


*) dalam “Forum Islamic Economicts Discussion” bertemakan “Fenomena Hedging Syari’ah” pada 15 Mei 2015 di Ruang Lembaga FE UII, dengan pembicara Drs. Asmuni, Mth., M.A