Jumat, 17 Mei 2013

Konsep kepemilikan (Al-Milkiyah)



 (Oleh: Yunice Karina Tumewang, Staff Divisi PSDI IESC FE UII)
Bismillahirrahmanirrahim

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya ...”(TQS. Al-Hadid [57]:7)
Sungguh, harta yang ‘dimiliki’ manusia hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak karunia Al Ghaniyyu yang tercecer di bumiNya. Sehingga sangatlah wajar, jika kita sebagai penjemput rizkiNya harus tunduk-patuh atas aturan-aturan Sang Pemilik. Dalam hal kepemilikan, Islam memiliki pandangan yang khas, yang berbeda dengan ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Islam menolak adanya pembatasan absolute (sosialisme) maupun pembebasan absolute (kapitalisme). Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk memiliki, namun tetap dengan batasan-batasan tertentu.
Kepemilikan terbagi atas tiga macam:
a.       Kepemilikan Individu (Al-Milkiyah Fardiyah)
An-Nabhani (1990) menyatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan individu (asbabu at-tammaluk) terbatas pada lima hal berikut ini:
1.       Bekerja (Al-Amal)
Kewajiban bekerja dapat kita jumpai tuntunanya dalam banyak dalil al-qur’an maupun as-sunnah. Bukan besar kecilnya upah atau tinggi rendahnya jabatan yang menjadi ukuran baik buruknya mata pencaharian, melainkan halal haramnya lah yang menjadi patokan. Suatu hari Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat: “Mata pencaharian apakah yang paling baik?” Beliau menjawab: “Bekerja dengan tangan sendiri dan jual-beli yang bersih” (HR. Al-Bazzar)
2.       Warisan (Al-Irts)
Hukum pembagian warisan telah secara jelas diterangkan Allah melalui firman Nya:
“Allah mensyari’atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu ...” (Q.S. An-Nisa [4]:11-12)
3.       Kebutuhan harta untuk mempertahankan hidup
Dalam Islam, setiap individu harus terpenuhi kebutuhan pokoknya (hajat  al-udhawiyah) dalam rangka mempertahankan keberlangsungan hidupnya, dan hal ini menjadi kewajiban atas waliul amri (pemerintah) untuk memfasilitasinya melalui mekanisme bertahap.
Rasulullah SAW meneladankannya ketika memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau berkata kepadanya: “makanlah dengan satu dirham, sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah untuk bekerja.”
4.       Pemberian negara (I’thau Al-Daulah)
Hal ini dapat berupa tanah pertanian, modal, ataupun barang yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5.       Harta yang diperoleh individu tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun
Hal ini dapat berupa hibah, wasiat, hadiah, diyat, mahar, barang temuan, ataupun santunan.
b.   

Sabtu, 04 Mei 2013

Pariwisata Dalam Kaca Mata Besar Ekonomi Islam



(Oleh: Hanifa Dina Zain, Staf Divisi Humas dan Media IESC FE UII)

Kebanyakan yang kita dengar jika ada pembicaraan mengenai ekonomi Islam kalau bukan tentang perbankan ya tentang  bisnis. Namun, dunia sekarang telah membuka mata secara lebar dan meyakini bahwa sektor pariwisata adalah salah satu jantung kemajuan ekonomi suatu negara selain kemajuan bisnis dan perbankan. Pariwisata tentu sangatlah penting dalam ekonomi sebuah negara karena keberadaannya menambah lahan bisnis bagi masyarakat disekitar tempat pariwisata. Bisnis inipun menjadi semakin bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan tempat pariwisata pada umumnya, seperti cenderamata, penginapan, tempat makan dan  transportasi. Seperti yang kita tahu bahwa Islam mengatur kehidupan seorang muslim disetiap aktivitasnya, aktivitas harian, bulanan maupun tahunan, jadi sektor pariwisata juga telah diatur batasan-batasannya oleh Islam. Hal itu disebabkan pariwisata sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi seorang muslim, seperti berpengaruhnya terhadap ekonomi global ataupun ekonomi islam.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pariwisata berarti yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi; pelancongan; turisme. (Kamus Bahasa Indonesia Online, n.d). Arti Pariwisata menurut UU No. 9 Tahun 1990 adalah segala seuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan, daya tarik dan atraksi wisata serta usaha-usaha yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata. Sedangkan arti wisata menurut Islam memiliki beberapa pengertian, seperti wisata yang dikaitkan dengan ibadah, wisata yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, wisata untuk mengingat keagungan Allah, dan wisata untuk berdakwah. Menurut beberapa pengertian diatas, pariwisata berarti perjalanan dari suatu tempat ke tempat tertentu dengan tujuan tertentu. Apapun tujuan dari perjalanan itu, maka tetap dapat disebut wisata atau pariwisata.

Jumat, 03 Mei 2013

Bunga di Bank Konvensional dan Relevansinya pada Tabungan Haji di Bank Konvensional



(Oleh: Astrini Suci, Staf Divisi Humas dan Media IESC FE UII)

             Penerapan nilai-nilai Islam adalah wajib dalam aspek keseluruhan di kehidupan manusia, meskipun dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Tapi, sayangnya fenomena saat ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam secara keseluruhan belum diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu contohnya adalah dalam aspek ekonomi yaitu tabungan haji di bank-bank konvensional. Haji adalah salah satu cara untuk beribadah kepada Allah SWT, sehingga kita harus memperhatikan dan mengamati secara rinci sistem tabungan yang kita gunakan. Sistem bunga yang diterapkan bank konvensional merupakan sesuatu yang tidak pasti karena menyerupai riba dan larangan riba muncul secara eksplisit dalam Al Quran yang merupakan sumber mutlak bagi seluruh umat Islam. Riba bukan merupakan bentuk transaksi yang adil. Ini merupakan pelanggaran hukum, menyebabkan kerugian finansial, menciptakan kesenjangan sosial dan keragaman antara yang mampu dan tidak mampu karena keuntungan selalu mengalir kepada orang kaya. Oleh karena itu, tabungan haji di bank konvensional sedang diperdebatkan saat ini karena Islam melarang penerapan sistem bunga yang menyerupai riba.
            Bank adalah lembaga keuangan yang memiliki prinsip bisnis dalam distribusi uang dan tanggung jawab dalam peredaran uang, sedangkan bank konvensional adalah bank yang memiliki kewajiban yang sama secara konvensional. Sebuah bank bertindak sebagai perantara antara pelanggan dengan modal surplus untuk orang-orang dengan  modal defisit. Ia mengumpulkan dana yang akan dibagikan kepada masyarakat umum yang membutuhkan dana tersebut. Pada dasarnya, bank yang memiliki posisi yang signifikan dan peranannya terhadap negara-negara yang berusaha untuk meningkatkan ekonomi mereka, khususnya dalam hubungan dengan kontak ekonomi negara lain. Prinsip konvensional yang diterapkan bank konvensional mengandung dua metode, yaitu: pertama adalah mendefinisikan bunga sebagai harga, baik untuk produk-produk seperti tabungan, deposito, dan produk pinjaman (kredit) yang diberikan dengan tingkat bunga tertentu. Kedua adalah menerapkan sistem biaya disebut fee based dengan menggunakan biaya untuk penggunaan layanan dari bank lain. Dalam bank konvensional pentingnya pemegang saham adalah untuk mengoptimalkan perbedaan suku bunga antara suku bunga deposito dan pinjaman, pemberi pinjaman sisi lain mengharapkan bunga tabungan tinggi, sedangkan debitur mengharapkan suku bunga rendah. Sehingga bank konvensional adalah perantara antara pihak-pihak tersebut. Adapun bank adalah sebuah institusi, memiliki manajemen yang sistematis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan seperti halnya sistem bunga yang ditentukan pada waktu kontrak dan menguntungkan bagi bank. Persentase didasarkan pada jumlah uang atau modal yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda ketika kondisi ekonomi yang baik. Karena sistem bunga, maka bank konvensional sedang diperdebatkan saat ini.
         

Pengaruh Zakat Terhadap Perekonomian Negara






oleh : Rizki Abdillah (div : humas IESC FE UII)


Zakat dan wakaf telah dipraktikan sejak awal Islam masuk di negeri ini, dengan didorong oleh dua institusi keagamaan terpenting yaitu masjid dan pesantren. Dalam lintasan sejarah, zakat dan wakaf telah banyak berkonstribusi dalam pengembangan agama Islam dan peningkatan kesejahteraan umat, bahkan menjadi salah satu sumber pembiayaan perjuangan melawan penjajahan di Indonesia. Namun pengelolaan zakat dan wakaf masih dilakukan secara tradisional-individualis. Hal ini terus berlanjut pasca kemerdekaan. Pengelolaan zakat secara ekonomis-produktif tetap tidak diperhatikan. Potensi zakat yang membesar, seiring kemerdekaan dan meningkatnya taraf hidup penduduk, tidak mampu dikelola dengan baik.
Filantropi Islam mengalami kebangkitan di tangan masyarakat sipil pada tahun 1990-an yang dipelopori antara lain oleh Bamuis BNI (berdiri 1968), Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), dan Dompet Dhuafa Republika (1993). Era ini dikenal menjadi era pengelolaan filantropi Islam secara professional-modern berbasis prinsip-pronsip manajemen dan tata kelola organisasi yang baik. Sejak era inilah kemudian potensi filantropi Islam mulai tergali dengan dampak yang semakin signifikan dan meluas.

 itik balik terpenting dunia zakat terjadi pada tahun 1999. Sejak tahun 1999, zakat secara resmi ke dalam ranah hukum positif di Indonesia dengan keluarnya UU No 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Berdasarkan undang-undang ini, zakat dapat dikelola baik oleh lembaga amil bentukan pemerintah yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) maupun oleh lembaga amil bentukan masyarakat yaitu Lembaga Amil Zakat (LAZ). Di satu sisi, undang-undang ini mengatur adanya sanksi bagi lembaga amil yang tidak amanah, walau tidak jelas implementasinya karena ketiadaan regulasi operasional dari undang-undang ini. Di sisi lain, undang-undang ini tidak mengatur adanya sanksi bagi wajib zakat yang lalai, dengan kata lain undang-undang menetapkan bahwa pembayaran zakat bersifat sukarela. Meski demikian, undang-undang ini telah merintis upaya pemberian insentif bagi wajib zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pajak.
Apabila suatu masyarakat sadar untuk berzakat, maka zakat tersebut akan berdampak dan memiliki pengaruh terhadap perekonomian suatu negara.