Kamis, 21 Maret 2013

Konsep Konsumsi dalam Islam


Novita Kusuma Maharani (Sekretaris IESC FE UII)
chikalku.blogspot.com

Konsumsi berlebih-lebihan yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur'an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.
Bila dikatakan kepada mereka, "Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu," orang-orang kafir itu berkata, "Apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat."
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: " ...dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu ...," dan yang menyuruh semua umat manusia: "Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik." Karena itu, orang Mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)".

Minggu, 03 Maret 2013

Ramalan Paranormal di Televisi


(Oleh Futuhul Haq Lillah, Koordinator Divisi PSDI IESC FE UII)
(sumber gambar: filsafat.kompasiana.com)
Paranormal, biasanya diartikan sebagai orang yang mengetahui, atau bisa mengetahui perkara-perkara gaib. Ia identik dengan dukun atau kahin. Yaitu, dukun penerawangan yang biasa menggunakan khaddam ( pembantu ) dari kalangan jin. Pekerjaan mereka disebut kahanah.

Sedangkan ahli nujjum atau popular disebut munajjim adalah orang yang mengetahui atau orang yang biasa meramal nasib maupun kejadian nerdasarkan ilmu perbintangan ( astrologi ) atau hari kelahiran ( weton, bahasa jawa ). Adapun palmist adalah tukang meramal nasib dengan membaca atau menafsirkan rajah ( garis telapak tangan ). Sedangkan dukun adalah adalah orang yang bisa mengobati penyakit dengan cara yang tidak masuk akal atau luar biasa.

Dalam akidah islam, yang mengetahui ilmu ghaib hanyalah Allah SWT. “ katakanlah, tak seorangpun yang di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah. “ ( QS an-Naml/27:25 ). Dan hanya Allah yang dapat memberi atau hal yang gaib kepada orang yang Dia kehendaki, yaitu Rasul. “ ( Dan Allah ) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memerlihatkan kepada siapapun tentang yang gaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhoi-Nya. “ ( QS al-Jin/72:26-27 ).