Rabu, 21 November 2012

Jadwal kajian IESC

25 Nov 2012 : Batas Akhir Pendaftaran Workshop LKTI

Belajar Bersama, Pembahasan Soal-Soal Temilreg & Temilnas : Setiap Sabtu Jam 1 Dimulai Minggu Depan

Rencana Jadwal Kajian IESC Periode November 2012 – April 2013
Nov 24th, 2012    : Diskusi (Rapat Pleno)
Dec 1st, 2012    : Kajian Bersama 1 # Keislaman
Dec 8th, 2012    : Kajian Bersama 2 # Fiqih Muamalah
Dec 15th, 2012    : Presentasi 1
Dec 22nd, 2012    : Kajian Bersama 3 # Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dec 29th, 2012    : Kajian Bersama 4 # Sistem Keuangan Islam (Kajian Lembaga 1)
Jan 5th, 2013    : Presentasi 2
Jan 12th, 2013    : Kajian Bersama 5 # Lembaga Keuangan
Jan 13th, 2013    : Kajian KSEI 1
Jan 19th, 2013    : Kajian Bersama 6 # Akad
Libur UAS
Mar 16th, 2013    : Presentasi 3
Mar 17th, 2013    : Kajian KSEI 2
Mar 23th, 2013    : Kajian Bersama 7 # Zakat, Pajak, Infaq, dan Shadaqah (Kajian Lembaga 2)
Mar 30th, 2013    : Kajian Bersama 8 # Teori Islamic Accounting
April 6th, 2013    : Presentasi 4
April 13th, 2013    : Kajian Bersama 9 # Praktek Islamic Accounting
April 20th, 2013    : Presentasi 5
Nb:
Waktu: 15.30 WIB
Tempat    : Ruang p1/1 (Conditional)

Senin, 19 November 2012

Menyelami Pemikiran Ibnu Khaldun




“Ekonomi suatu Negara akan bagus dan berkembang selama ada keseimbangan antara kegiatan individu, suasana bersaing (sehat) dan pemerintah. Kerja yang tidak teratur akan membahayakan pertumbuhan ekonomi. Kezaliman merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kehancuran Negara”. Sebuah pemikiran luar biasa yng keluar dari otak brilian seorang Ibnu Khaldun 7 abad yang lalu. Apa yang ada di benak ibnu khladun sangat relevan di kehidupan hari ini.






Nama lengkapnya ialah Abdul Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami, seorang intelectual religioner (ulama) yang hidup pada masa 1332-1406 M. Beliau mendalami multidisiplin ilmu di mulai politik, geografi,  sosiologi, sejarah, filsafat, dan ekonomi ia dalami secara lugas.

Ibnu Khaldun terkenal dengan “eight wise principles”nya atau dalam bahasa Arab “Kalimat Hikamiyyah” atau dalam bahasa indonesia “8 prinsip kebijaksanaan” ;
-          Kekuatan penguasa tidak dapat diwujudkan kecuali dengan adanya implementasi syariah
-          Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh para penguasa
-          Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali yang datang dari masyarakat
-          Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan
-          Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan
-          Pembangunan tidak dapat dicapai melalui keadilan
-          Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi oleh Allah pada umat-Nya
-          Penguasa dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan
Ibnu Khaldun tidak hanya seorang qadhi (ahli hukum), ia memiliki pemikiran yang luar biasa. Lahir di lingkungan keluarga yang menghargai ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun kecil lahir di Tunisia, sejak kecil ia sering berpindah-pindah tempat untuk menuntut ilmu hingga ke Afrika. Beliau juga pernah menjadi qadhi (hakim agung) di Mesir. Pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun yang tertuang dalam bukunya “Muqaddimah” sangat banyak mempengaruhi pemikiran ilmuwan muda yang saat ini relevan dengan kehidupan yang kita jumpai hari ini.
Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Pajak
“pada permulaan berdirinya suatu negara, pajak banyak sekali jumlahnya dan sedikit dari pajak itu yang dibebankan kepada individu kemudian pada akhir negara, pajak jumlahnya sedikit dan justru banyak sekali pembebanannya pada individu”. Ibnu Khaldun menyampaikan konsep ini untuk negara mengikuti sunnah agama Islam, dan negara membebankan pajak yang hanya ditentukan dalam syariat Islam, yaitu pajak derma, sedekah, pajak tanah (kharaj), dan juga pajak pemberian suara (jizyah). Semua pajak yang disebutkan sudah memiliki batas yang tetap serta jumlahnya tidak bisa ditambah lagi. Hal yang berbeda justru terjadi bila konsep yang ada di dalam suatu negara tidak menganut konsep Islam, akan tetapi justru mengikuti konsep politik dan juga solidaritas sosial.
 Dalam sebuah negara, bila beban pajak dan kewajiban pajak kepada rakyat jumlahnya kecil, maka mereka bersemangat dan juga senang untuk bekerja. Implikasinya banyak usaha yang dapat berkembang. Ini sesuai dengan konsep yang dikenal dalam ilmu ekonomi sekarang ini, yaitu “pajak yang rendah dapat menjadi stimulus untuk kegiatan ekonomi”. Hal yang sebaliknya akan terjadi bila pajak yang dibebankan kepada masyarakat jumlahnya besar dan banyak sekali. Implikasinya kegiatan ekonomi menjadi rendah. Kegiatan ekonomi yang rendah ini akan berdampak pada kegiatan perekonomian bagi negara itu sendiri. Hal itu juga disampaikan oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya. Dalam bukunya yang terkenal tentang Ibnu Khaldun, Jean David C Boulakia mengungkapkan bahwa “Uang yang dibelanjakan oleh pemerintah pada dasarnya berasal dari penduduk dan didapatkan melalui pajak. Belanja yang dilakukan oleh pihak negara  (pemerintah) akan dapat meningkat bila pemerintah meningkatkan jumlah pajak yang harus dibayar, dengan akibat bila hal itu dilakukan akan terjadi tekanan fiskal yang demikian tinggi kepada masyarakat. Pada akhirnya, bila beban pajak demikian besar kepada masyarakat, maka kegiatan perekonomian lambat laun akan mengalami stagnasi, dan masyarakat akan malas untuk membuka kegiatan usaha yang produktif”. Apa yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun saat ini biasa disebut dengan siklus fiskal. Dampak dari siklus fiskal dunia ekonomi makro juga ada dan hal ini secara tersirat juga disampaikan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah.
Konsep Bisnis dalam Pandangan Ibnu Khaldun
Dalam konteks negara modern Ibnu Khaldun dapat melihat beberapa kesalahan
fatal, dan mendatangkan kerugian tidak hanya bagi rakyat, akan tetapi juga bagi
negara tersebut, yaitu diantaranya adalah bagi para pengusaha pada masa Ibnu Khaldun, yaitu para petani dan pedagang saat itu sulit untuk dapat membeli
ternak serta berbagai barang dagangan, karena rata-rata pada masa tersebut rakyat
memiliki jumlah kekayaan yang sama, atau bahkan hampir sama. Dampaknya mereka menjadi sulit untuk berkompetisi. Akan tetapi, akan menjadi lebih sulit bagi mereka untuk berkompetisi bila raja juga menjadi pemain dalam komoditi yang sama dengan yang mereka usahakan. Dengan kata lain, Ibnu Khaldun ingin menyatakan bahwa bila penguasa sudah mulai ikut berbisnis yang sama dengan yang dilakukan oleh rakyatnya, maka rakyat dalam menjalankan usahanya mulai merasa resah, dan lebih sering dihinggapi oleh perasaan khawatir karena bersaing dengan kepala negara mereka. Kekhawatiran ini dikarenakan bahwa kepala negara dapat melakukan bisnisnya dengan secara paksa melalui proses
monopoli (trading by monopoly sistem).





















Pengembangan Konsep Ibnu Khaldun




























Dunia yang berkembang terus dengan jumlah penduduk yang semakin banyak








menimbulkan berbagai macam permasalahan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Termasuk dalam hal ini adalah masalah bagaimana cara manusia untuk dapat mencukupi
berbagai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Masalah ini dapat dikategorikan sebagai masalah-masalah perekonomian.



Pada awalnya masyarakat dunia banyak dipengaruhi oleh mazhab ekonomi klasik

yang sama sekali tidak menginginkan pemerintah untuk ikut serta mencampuri kegiatan
perekonomian. Mazhab klasik dalam dunia perekonomian ini sangat percaya bahwa
perekonomian akan mencari keseimbangannya sendiri. Dalam posisi ini maka setiap
kegiatan produksi yang dilakukan secara otomatis akan menciptakan kemampuan untuk
membeli berbagai produk yang dihasilkan. Dalam posisi ekonomi yang seimbang ini atau
biasa disebut dengan equilibrium diasumsikan tidak akan terjadi kelebihan ataupun
kekurangan permintaan. Berbagai ketidakseimbangan yang terjadi, baik dalam segi
kelebihan penawaran atas permintaan (excess supply), atau kekurangan jumlah barang
yang dikonsumsi dan diminta oleh para konsumen (excess demand) pada akhirnya akan
menimbulkan keseimbangan tersendiri nantinya.



Dikatakannya demikian bahwa nantinya akan ada tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) yang akan membawa perekonomian kembali ke titik normal. Ini juga terjadi dalam masalah sumber daya, termasuk tenaga kerja yang akan digunakan secara penuh. Dengan pemikiran ini maka dalam mazhab ekonomi klasik percaya bahwa tidak akan ada orang yang menganggur karena tidak mendapatkan pekerjaan, karena jumlah tenaga kerja yang ada akan digunakan secara penuh, dilalah para pekerja tersebut bekerja dengan upah yang rendah, sebab hal itu dipandang lebih baik dari pada tidak bekerja sama sekali.

Konsep yang ada di dalam mazhab ekonomi klasik ini banyak dpengaruhi oleh pemikiran Adam Smith yang tersirat dalam bukunya “Wealth of Nation”.



Setelah itu, berkembanglah pemikiran yang banyak disampaikan oleh John Maynard

Keynes. Dalam ulasannya Keynes berpendapat bahwa konsep ekonomi klasik hanya
bisa diterapkan dalam konsep perekonomian tertutup, dan tidak layak diterapkan dalam dunia ekonomi modern semakin kompleks. Keynes berargumentasi bahwa perekonomian yang semakin modern tidak bisa hanya dilepaskan dalam mekanisme pasar belaka, dan hanya mengandalkan “tangan-tangan yang tidak terlihat“ untuk menciptakan kestabilan dalam perekonomian. Perlu ada peran pemerintah dalam batasan tertentu untuk menciptakan kestabilan dalam perekonomian. Dan peran ini dapat diwujudkan melalui instrument kebijakan fiskal, intinya adalah konsep perpajakan. Ini merupakan implementasi yang nyata dari konsep ekonomi keuangan publik Ibnu Khaldun yang disebutkan dalam bukunya ”Muqaddimah ”, disebutkan secara terang dan jelas bahwa kestabilan dalam perekonomian dapat diwujudkan melalui peran pemerintah dalam bidang kebijakan fiskal melalui instrumen perpajakan.















Banyak lagi pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun yang mempengaruhi teori-teori yang disampaikan ilmuwan-ilmuwan barat, tak hanya ekonomi saja. Pemikirannya tentang politik banyak dijiplak oleh ilmuwan-ilmuwan barat. Seorang multidisiplioner ilmu, seorang intelectual religioner, seorang yang dijuluki bapak ilmu ekonomi. Dan sampai saat ini setelah 7 abad pemikirannya mempengaruhi kehidupan kita pada hari ini.
















Oleh : Ismail Saleh Siregar (divisi PPWI IESC FE UII)

Senin, 12 November 2012

IESC (Islamic Economics Study Club) FE UII Jalin Kerja Sama Dengan SEF (Shariah Ecomomics Forum) UGM


Sabtu, 10 november 2012 IESC FE UII diwakili oleh Ketua IESC Fikri Farhan, menandatangani nota kesepahaman (Memorendum Of Understanding) dengan SEF UGM yang diwakili oleh Sekjen SEF Gigih Rahutomo, penandatanganan nota kesepahaman ini bertepatan dengan acara kunjungan SEF UGM ke IESC FE UII. Penandatanganan ini disaksikan oleh anggota masing-masing KSEI (Kelompok Studi Ekonomi Islam).
Acara yang dipandu oleh Saleh Siregar (divisi PPWI IESC) berlangsung hangat dan akrab dibuktikan dengan saling membaurnya anggota masing-masing KSEI.
Fikri Farhan dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas kunjungan SEF UGM ke IESC FE UII, dia juga menekankan kepada anggota masing-masing KSEI agar memanfaatkan acara ini untuk saling belajar kekurangan dan kelebihan masing-masing.
senada dengan Fikri farhan, Gigih Rahutomo dalam sambutannya juga menganjurkan agar silaturrohim ini terus berlanjut dan kedepannya kedua KSEI agar saling bekerja sama, dia juga menyampaikan untuk menguatkan organisasi masing-masing, karena kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.
Diantara buti-butir nota kesepahaman yang disepakati oleh kedua pihak adalah :
1. Saling bertukar informasi mengenai perkembangan ekonomi syariah yang didapatkan oleh masing-masing KSEI
2. Saling bertukar produk dari masing-masing KSEI, misalnya jurnal, bulletin, dan lain sebagainnya.
3. saling men-share hasil dari suatu agenda besar semacam seminar ekonomi syariah yang diadakan masing-masing KSEI

Rangkaian acara ini ditutup dengan saling memberikan kenangan dan  perfotoan bersama IESC FE UII dan SEF UGM di depan tangga masjid al-muqtashidin FE UII.

__ selamat untuk IESC dan SEF__  

Suasana Pelantikan Pengurus baru 2012-2013...


Jumat, 09 November 2012

Sedikit Tentang Ekonomi Islam



A.    Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir masyarakat dunia diguncang dengan bermacam krisis ekonomi, mulai dari krisis yang mengguncang asia tenggara pada tahun 1997-1998, hingga krisis di Amerika dan merambat masuk keEropa pada tahun 2000-an. Beragam cara dilakukan untuk memulihkan negara-negara yang sedang mengalami krisis untuk bangkit namun alih-alih untuk bangkit malah utang mereka semakin menumpuk, sehingga timbullah beragam pernyataan penyebab timbulnya krisis, pendapat yang sering dilontarkan adalah kesalahan dari sistem ekonomi yang mereka anut, yang tidak memebawa kepada kesejahteraan masyarakat.
Maka sangat perlu untuk para pelaku ekonomi untuk mencoba berfikir ulang apakah sistem ekonomi yang mereka anut masih layak untuk dipertahankan? Setelah melihat kasus-kasus diatas maka sangat bodoh kalau para pelaku masih menganggap sistem ekonomi yang mereka dianut sekarang masih layak dipertahankan. Melihat itu semua diperlukan sebuah sistem ekonomi baru yang bisa mejawab dan menjadi solusi atas sistem-sitem ekonomi sebelumnya.
B.     Ekonomi Sebagai Bagian Integral Dari Agama Islam
Ekonomi islam dibangun atas dasar agama islam, karenanya ia merupakan bagian yang terpisahkan dari agama islam, sebagai bagian dari ajaran islam, ekonomi islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Islam adalah sistem kehidupan (way of life), dimana Islam telah menyediakan berbagai perangkat aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Beberapa aturan ini bersifat pasti dan berlaku permanen, sementara beberapa yang bersifat kontekstual sesuai dengan situasi kondisi. Penggunaan agama sebagai dasar sebagai dasar ilmu pengetahuan telah menimbulkan diskusi panjang di kalangan ilmuwan, meskipun sejarah telah membuktikan bahwa hal ini adalah keniscyaan. (Tim penulis P3EI,2008)
Islam memandang aktivitas ekonomi secara positif. Semakin banyak manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan dari prosesnya sesuai dengan ajaran islam. Ketakwaan kepada tuhan tidak menurunkan produktivitas dalm bidang ekonomi. Sebaliknya justu membawa sesorang untuk lebih produktif. (Tim penulis P3EI,2008) kekayaan dapat meningkatkan seseorang kepada tuhan selama diperoleh dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran Islam.
C.    Pengertian dan Ruang lingkup Ekonomi Islam
Sejak abad ke-8 telah muncul pemikiran-pemikiran ekonomi secara islam parsial, misalnya peran negara dalam ekonomi, kaidah berdagang, mekanismen pasar dan lain-lain, tetapi pemikiran secara komprehensif  terhadap sistem ekonomi islam sesungguhya baru muncul pertengahan abad ke-20 dan semakin sejak dua dasawarsa terakhir.
Banyak akhli ekonomi Muslim yang mecoba mendefenisikan ekonomi islam, setiap orang mempunyai defenisi masing-masing, tetapi pada dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang islami (Tim penulis P3EI, 2008). Yang dimaksud dengan cara –cara yang islami disini adalah cara-cara yang sesuai dengan sumber ajaran islam, yaitu yang bersumber dari Al-quran dan Sunnah nabi. Dengan pengertian ini maka istilah ini yang sering digunakan dalam ekonomi Islam.
Dari bebearpa Definisi yang sering diutarakan oleh para ahli ekonomi islam dapat kita simpulkan bahwa ekonomi islam bukan hanya merupakan praktik kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu dan komunitas  yang ada, namun juga perwujudan prilaku ekonomi yang didasarkan pada ajaran islam. Ia mencakup cara memandang permasalahan ekonomi, menganalisis, dan mengajukan alternatif solusi solusi atas berbagai permasalahan ekonomi. Ekonomi islam adalah konsekuensi logis dari implementasi ajaran islam secara kaffah dalam aspek ekonomi.
Beberapa ekonom menegaskan bahwa ruang lingkup dari ekonomi islam adalah masyarakat muslim atau negara muslim itu sendiri. Artinya is mempelajari prilaku ekonomi dari masyarakat atau negara muslim di mana nilai-nilai ajaran islam dapat diterapkan.  Namun ada juga pendapat lain yang tidak memberikan pembatasan seperti ini, melainkan lebih kepada penekanan terhadap persfektif islam tentang permaalahan ekonomi pada umunya. Dengan kata lain, titik tekan ekonomi islam adalah pada bagaimana ekonomi islam memberikan pandangan dan solusi atas berbagai permasalahan ekonomi yang dihadapi umat manusia secara umum.   
D.    Ekonomi Islam Untuk Kesejahteraan Umat
Nilai-nilai yang berada atau yang menjiwai ekonomi islam sangat relevan dengan kondisi segala zaman, sangat mungkin menjadi alternati solusi ketika kita mengetahu bahwa sistem ekonomi yang kita anut sekarang sangat jauh dari kesejahteraan masyarakat, jangankan kesejahteraan masyarakat, negara berkembang pun berusaha untuk mengurangi subsidi untuk masyarakatnya hanya untuk membayar utang negara.
Dalam ekonomi islam, masalah ekonomi hanyalah merupakan satu bagian dari aspek kehidupan yang diharapkan akan membawa manusia kepada tujuan hidupnya. Oleh karena ada tiga pokok yang diperlukan untuk memenuhi bagaimana mencapai tujuan hidup. (Tim penulis P3EI, 2008)
1.      Falah Sebagai Tujuan hidup
Falah berasal dari bahasa arab dari kata kerja aflaha-yuflihu yang berarti kesuksesan, kemuliaan atau kemenangan. Dalam pengertian literal, falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaa dan kemenangan dalam hidup. Falah juga sering dimaknai keberuntungan jangka panjang , dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material namun justru lebih ditekankan pada aspek spritual. Dalam konteks dunia, falah merupakan konsep yang multi dimensi. Ia memiliki implikasi pada aspek prilaku individual/mikro maupun prilaku kolektif/makro.
2.      Maslahah Sebagai Tujuan Antara untuk Mencapai Falah
Falah, kehidupan yang mulia dan sejahtera di dunia dan akhirat, dapat terwujud apabila terpenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia secara seimbang. Tercukupinya kebutuhan kebutuhan masyarakat akan memberikan dampak yang disebut dengan maslahah. Maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik material maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai mahluk yang paling mulia.
Menurut as-Shatibi, maslaha dasar bagi kehidupan manusia terdiri dari lima hal, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (‘aql), keluarga dan keturunan (nash), dan material (wealth). Kelima hal tersebut merupakan kebutuhab dasar manusia, yaitu kebutuhan yang mutlak dipenuhi agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Jika salah satu dari kebutuhan di atas tidak terpenuhi atau terpenuhi dengan tidak seimbang niscaya kebahagiaan hidup juga tida tercapai dengan sempurna.
3.      Permasalahan dalam Mencapai Falah      
Dalam upaya mencapai falah manusia menghadapi banyak permasalahan, adanya berbagai keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang ada pada manusia serta kemungkinan adanya interdepensi berbagai aspek kehidupan seringkali menjadi permasalahan besar dalam upaya mewujudkan falah. Permasalahan lain adalah kurangnnya sumber daya yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan atau keinginan manusia dalam rangka mencapai falah. Kekurangan sumber daya inilah yang sering disebut oleh ekonomi pada umumnya dengan istilah ‘kelangkaan’.
Kelangkaan relatif terjadi disebabkan oleh tiga hal pokok.
a.       Ketidak merataan distribusi sumber daya
b.      Keterbatasan manusia
c.       Konflik antar tujuan hidup

Simpulan
            Nilai-nilai atau ajaran yang terkandung dalam ilmu ekonomi islam sangat memihak pada kesejahteraan masyarakat, bila dilihat dari tujuan hidupnya, bagaimana islam mengatur produksi, distribusi, konsumsi.
Islam juga mempunyai zakat, infaq dan shadaqah, tidak hanya sebagai ritual ibadah tapi juga untuk pemerataan kepada seluruh masyarakat. Orang-orang kaya mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan hartanya dan diberikan kepada golongan-golongan yang berhak menerimannya.
           


 
           

Hubungi Kami : FB        : Iesc FE Uii
                        Twitter : @IESCFEUII
                        Cp       : Novita : 085717198490
                                      Agul    : 08889714287

Mengintip Gadai Syariah


Semakin hari kebutuhan setiap orang semakin meningkat. Baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Bahkan, sebagian ada yang memiliki kebutuhan di luar batas kemampuannya. Akibatnya, berhutang pun tak bisa dihindarkan. Sehingga, alih-alih menabung untuk hari depan, “gali lobang tutup lobang” malahan sudah menjadi kebiasaan.
Seiring berjalannya waktu sektor pasar pun membaca fenomena ini. Ini dapat dijumpai dengan maraknya “sistem” yang mencoba dibangun untuk memecahkannya. Salah satunya yang dikenal dengan istilah Gadai. Secara etimologis, gadai berarti meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Jika telah sampai pada waktunya barang tersebut tidak ditebus, maka barang tersebut menjadi hak yang memberi pinjaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Gadai yang kerap kita jumpai di tengah-tengah masyarakat yakni gadai yang bersistem konvensional. Memang ada gadai syariah, namun jumlahnya masih dalam hitungan jari. Belum seperti menjamurnya gadai yang bersistem Konvensional. Walaupun memang sebenarnya wajar saja. Mengapa? Sebab, sistem ekonomi islam di Indonesia pun baru berdengung di awal 1990-an. Ini ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang dirumuskan oleh Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, pengetahuan masyarakat tentang sistem ekonomi syariah (sistem islam) pun masih minim.
Adapun jika kita melirik Al Qur’an dan Al Hadits, banyak sekali nash yang menjelaskan tentang bolehnya sistem gadai. Diantaranya,
Anas ra pernah menuturkan : “Sesungguhnya Nabi Saw pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga beliau.” (HR. Bukhari) dan dalam Al-quran disebutkan bahwa Allah SwT berfirman: “Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah [2]: 283).
Prakteknya, ada beberapa rukun yang harus dipenuhi untuk melaksanakan gadai syariah. Yakni, adanya ijab qabul; adanya pihak yang berakad; yaitu pihak yang menggadaikan (rahn) dan yang menerima gadai (murtahin); adanya jaminan (marhun) berupa barang atau harta; adanya utang (marhun bih). Sedangkan dalam pelaksanaan secara operasioanal, payung hukum gadai syariah sendiri berpegang pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahndiperbolehkan. Disamping itu, dalam Fatwa tersebut juga dijelaskan tentang tak bolehnya murtahin (penerima barang) memanfaatkan marhun, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang tak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman, dan hal teknis lainnya.
Perbedaan mendasar antara gadai syariah (rahn) dengan gadai konvensional, yakni pada ada dan tidaknya bunga. Dalam gadai konvensional, nasabah dikenakan bunga. Akan tetapi, dalam gadai syariah tidak. Nasabah hanya dipungut untuk berbagai macam biaya, seperti biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran. Adapun perbedaan utama antara biaya gadai syariah (rahn) dengan bunga pegadaian (konvensional) adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.
Dalam gadai syariah, sifat barang yang digadaikan harus sesuai dengan hukum islam, sedangkan sifat barang yang digadaikan dalam gadai konvensional tergantung kesepakatan kedua pihak dan tak terikat oleh aturan agama. Di gadai syariah barang gadai dapat dilunasi sebelum jatuh tempo dan tak terkena penalty, sedangkan dalam gadai konvensional, karena menggunakan sistem bunga, tentu saja jika melunasi barang gadai sebelum jatuh tempo akan terkena penalty.
Barang yang boleh digadaikan pun adalah barang yang mempunyai nilai guna atau yang dapat diperjual belikan. Tidak diperbolehkan menggadaikan barang yang diharamkan dalam islam, seperti anjing, babi, alkohol, bangkai, patung,  harta curian, atau harta yang belum dimiliki secara sah tak boleh digadaikan.
Bank (dalam hal ini sebagai murtahin) diperbolehkan mengklaim biaya pemeliharaan. Ini didasarkan pada hadits,
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, berkata, bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung (hewan yang dapat ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan, dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR. Bukhari 2511, 2512).
Dari hadits tersebut didapatkan kesimpulan bahwa, bolehnya pemegang barang gadai memanfaatkan barang gadai dengan syarat harus seimbang antara pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut.
Adapun barang yang digadaikan (marhun) adalah sekedar jaminan hutang apabila tidak dapat melunasi hutangnya, dan barang gadai tidak harus menjadi pengganti hutang tersebut, sehingga tidak harus sama atau seimbang antara harga barang dengan jumlah hutangnya. Bahkan, boleh kurang atau lebih apabila kedua belah pihak rela (suka sama suka). Dan apabila orang yang berhutang tidak dapat melunasi hutangnya, maka pemegang barang gadai tersebut berhak menuntut pembayaran hutangnya serta boleh menahan barang tersebut sampai hutangnya dibayar. Ini lantaran barang tersebut berstatus milik penggadai barang.
Yang perlu diperhatikan, dalam menaksir harga barang gadai, sebaiknya tidak sampai 100%. Ini karena agar dibedakan antara gadai barang dengan jual barang. Juga sebagai antisipasi jika orang yang memnggadaikan (ar-rahn) tidak bisa melunasi ketika jatuh tempo. Sebab, andaikan 100% maka ia kemungkinan besar akan melepas urusannya dengan penerima gadai (murtahin) lantaran merasa impas antara yang ia berikan dengan yang diberikan oleh penggadai.
Uraian diatas membuktikan bahwa dalam gadai syariah tak ada yang dirugikan, baik yang menggadaikan barang maupun pihak yang dititipi. Setiap prosesnya dilandasi dengan suka sama suka dan berasaskan pada keadilan.
Semoga mata hati kita semakin terbuka hingga sanggup menatap keindahan dan kesempurnaan Islam. Menyadari bahwa Islam sudah mengatur bagaimana masuk toilet hingga bagaimana membangun negara, dan dari mulai bagaimana bertetangga hingga membangun  peradaban lewat perekonomian.
Oleh : Dimas Purlevo
Editor : Uman Miftah Sajidin